Norma: Antara Mertua dan Menantu
Untuk film dgn genre cerita viral dari medsos, Norma tidak seberhasil Ipar Adalah Maut. Kunci keberhasilan genre ini adalah sukses tidaknya menyulut emosi penonton. Ipar sukses banget utk hal itu; sementara Norma kedodoran. Masalah utama film ini adalah, selain durasi yg kepanjangan, naskahnya terlalu fokus menggambarkan Norma si baik hati bak malaikat yg tak pantas utk disakiti. Penonton sudah tahu itu, gak usah lagi dikasih tahu dan dipanjang2in mengenai hal ini. Jadi durasi act 1 hingga pertengahan act 2 dihabiskan untuk memberi gambaran Si Norma baik hati itu. Memang ada beberapa scene clue penyebab terjadinya perselingkuhan irfan dan mertuanya, tapi terlalu sedikit dan kurang mampu menyulut emosi penonton. Ceritanya baru panas di akhir act 2 dan awal act 3, itu setelah 1.5jam film berjalan. Kelamaan cuy. Di akhir act 3 pun masih juga dipanjang2in secara gak penting sehingga durasinya menjadi semakin melar.
Nah, persoalan sulut menyulut emosi penonton, nih ya saya kasih tahu kenapa film ini (setengah) gagal mencapainya. Penonton ingin melihat perilaku ke-iblis-an pelaku selingkuh, sesuatu yg sukses ditampilkan oleh film Ipar. Kenapa Norma tidak berhasil, paling tidak ada dua masalah. Pertama, Yusuf Mahardika miscast. Yusuf punya look natural pria baik2, dan aktingnya disini pun one note, menampilkan aura pria baik2, bahkan saat selingkuh dgn mertuanya, ekspresi Yusuf pun menunjukkan wajah pria baik2 saja. Sementara itu, di kisah nyata Norma, Rozi (suami Norma di dunia nyata) terlihat bejat dan mesum bahkan dari fotonya. Sehingga Yusuf tidak believable sebagai menantu bejat dan penonton jadi kurang nangkap dgn ke-iblis-an suami si Norma.
Yg kedua, penulis naskah mencoba untuk memanusiakan ibu-nya Norma dgn memberi latar belakang. Backgound karakter memang penting, tapi tidak sampai merusak cerita dan mengurangi esensi dan tujuan utama film utk menyulut emosi penonton dong. Apalagi scene perselikuhannya kurang banyak. Penonton kan jadi bingung mau empati ke Norma atau ibunya juga. Just give audience straight evil, itulah yg dilakukan oleh film Ipar.
Sekarang mari kita bahas aspek akting pemain. Yusuf Mahardika miscast dan akting buruk. Wulan Guritno sebagai ibu menampilkan performa yg baik namun kurang eeehh dikit lagi aja dikarenakan penampilannya terlalu cantik. Cukup disayangkan karena di beberapa scene, terutama scene yg memakai kerudung, Wulan berubah menjadi ibu, namun begitu buka kerudung dan pake daster ia kembali menjadi Wulan Guritno si seksi. Sehingga muncul persepsi bahwa perselingkuhan itu terjadi karena ibu mertuanya cantik dan seksi, padahal aslinya perselingkuhan itu terjadi karena mereka berdua memang bejat aja, terbukti dari foto2 asli ibu Norma yg kelihatan seperti ibu kampung pada umumnya yg tetap diembat oleh menantunya yg bermuka mesum. Wulan sudah sangat effort dalam berakting loh. Sayangnya, hal ini tidak ter-translate-kan ke dalam film.
Justru akting yg mencuri perhatian adalah bapaknya si Norma yg diperankan Rukman Rosadi. Wibawa sbg ayah dan suami yg tersakiti sangat terasa. Rukman wajib dapat nominasi Piala Citra.
Overall, film ini mis-chance karena beberapa sebab. Pertama, kurang menyulut emosi penonton karena terlalu fokus menceritakan kebaikan Norma. Kedua keiblisan perselingkuhan ibu dan menantu kurang. Ketiga, menantu mis-cast, mertua terlalu cantik.
Norma: Antara Mertua dan Menantu