Something sinister to watch this film (and the fact that this released on Netflix) ketika se Twitter lagi panas gara-gara jatah bulanan seorang 52JT/bulan.
Entah mengapa film ini meromantisasi lagu God Bless — Rumah Kita Sendiri sejalan dengan wacana nrimo ing pandum, menekankan bentuk syukur sebagai roman perjuangan kelas bawah. Ia berceramah pada bentuk pengiritan dan memaksa mereka yang di bawah untuk resiliensi pada sistem; hemat. Upaya pengiritan dan segala bentuk pengakalan yang dilakukan dipotret sebagai hal yang impresif. Hal ini membentuk persepsi yang seharusnya dilakukan masyarakat mengatasi lesunya ekonomi. Ini melanggengkan konsepsi jahat frugal yang menyalahkan perilaku konsumtif masyarakat dan abai pada perputaran ekonomi yang buruk.
Hubungan Tony dengan bosnya misal, Ia memilih potong gaji dan beresiliensi sampai akhirnya benar-benar harus dipaksa meninggalkan pekerjaannya. Tony justru menciptakan sistem baru di kantornya untuk berhemat yang justru mengurung pekerja dalam ekonomi yang lebih buruk dan menguntungkan atasan.
Not to mention, ada upaya buruk mengenai wacana tidak kuliah tidak apa-apa dan menjadikan "kerja sesuai passion" sebagai hal buruk bagi kelas bawah.
Eksistensi Opa Hans di sini sebagai pertanda bahwa keadaan seperti ini merupakan sistemik. Irit yang diturunkan menandakan bahwa adanya invisible barier dan gap ekonomi sistemik yang menyulitkan mobilitas sosial vertikal ke atas. Poster-poster propaganda hemat dan adanya tokoh (mantan mentri) Ekonom Sri Mulyani menjadi figur surveilance pengatur bagaimana masyarakat bertindak pada sektor ekonomi terkecil.
Pada akhirnya, sayangnya wacana wong kalahan, lagi-lagi menjadi hal yang diromantisasi untuk diterima masyarakat menjadi neriman, resiliens, dan ikhlas pada keadaan selama adanya bentuk kebersamaan dan kehangatan yang semu.
Idk, the whole logic super irit doesn't really make sense for everything they do, math isn't mathing.