Ditonton di JAFF 19

Film ini mengenalkan budaya HipHop Jepang yang mungkin genre musik ini lebih terkanal ke budaya black-american, dari sini Yukiko punya nilai jual yang berbeda dari sesuatu yang kesannya nggak Jepang banget, tapi berhasil membawa isu dan pesan yang kuat. GImana caranya buat cope soal anxiety dan rasa minder sampai jati diri guru-guru SD yang citranya ditampilkan di sekolah pasti bakal beda dibanding di belakangnya. Adegan pentas unjuk gigi siswa-siswa SD di akhir menyentuh banget sama waktu Yukiko main hip-hop diiringi pianonya si bocil bikin happy dan comforting banget!

Ditonton di JAFF 19

Aduuuh ini film :((( gw suka banget di JAFF film-filmnya banyak ngangkat problematika perempuan pada usia menuju tua dan yang sudah tua :))) My Favourite Cake salah satunya, beneran seru banget, manis, bikin happy apalagi crowdsnya beneran mendukung banget waktu ngikutin nenek-nenek ini flirting dan one night stand yang se-cute itu ^w^ Tapi aduh kebelakangnya pait banget tertampar realita yang bikin gw seperti si nenek yang masih ga terima dan kaget apa yang barusan kejadian walau udah ketebak si bakalan begitu :(((

Ditonton di JAFF 19

Việt and Nam ini cerdas menjahit cerita dan alegori dalam perjalanan yang lamban. Pasangan homoseksual sampai kenanangan masa lalu dan angan-angan masa depan berjalan menggugah nan menghanyutkan. Alegori dari pasangan homoseksualitas, romansa di tengah pekerjaan tambang yang maskulin pada perpecahan vietnam yang tunggal menjadi dua entitas, perkara adu kekuasaan bangsa yang lain; kuburan sang kekasih; ranjau-ranjau yang masih tertanam; memori ketubuhan akan rasa sakit mereka-mereka yang kehilangan ayah; semuanya terbawa terombang-ambing dalam kotak hitam gelap. Việt and Nam adalah sebuah pusi tentang mereka-mereka yang tunggal dan terombang-ambing.

Ditonton di JAFF 19

Gw suka gimana filmnya membawa narasi dan komentar mengenai kelas kasta, human slavery, romance, sampai kritik agama di India. Dari judulnya "dalam perut harimau" yang memang dalam filmnya sempat ter-mention mengenai hewan tersebut dan kritik terhadap perlindungan harimau lebih besar dibanding pada hak asasi manusia, tetapi ada kesan juga untuk demonisasi harimau sebagai metofara ketamakan manusia. Ketika di awal yang udah gw tulis soal perlindungan hewan, mengapa lagi-lagi harimau hanya sebatas simbol ketamakan manusia, padahal hewan ini memang perlu dilindungi dan justru manusia lebih tamak, kesan yang timbul lagi-lagi harimau sebagai musuh secara mataforik juga literal hewan buas yang ketika dibunuh dapat memenjarakan satu desa.

Selebihnya gw suka dari production value, editing, dan focus shifting ceritanya. Penonton dibawa terlebih dahulu soal kegetiran di sebuah desa di India (yang kesannya mirip-mirip sama film Sang Penari) baru kemudian dibawa pada cerita romansa mendalam yang penuh bunga

Ditonton di JAFF 19

Slow burn yang magis, membawa unsur mimpi sebagai upayanya menerjemahkan perasaan perempuan sebagaimana upaya Kamila Andini dalam Before, Now, and Then (Nana). Tale of The Land hadir sebagai debut film panjang yang kuat dan medium kritik yang tersampaikan secara perlahan menggugah pemikiran audiensnya. Mungkin hal yang mengganjal bagi saya (walau bukan orang kalimantan, setidaknya saya pernah mendengar saudara saya dari kalimantan berdialog) percakapan dalam film ini terasa terlalu kaku, dialeg yang dituturkan masih terkesan Jakarta, belum lagi memang tak seutuhnya menggunakan bahasa daerah. Dari sesi qna juga dijelaskan alasannya agar ada usaha familiaritas pada penonton agar tidak bergantung pada subtitile, tetapi tetap saja rasanya terlalu mengganggu dan nanggung untuk tidak mengangkat seutuhnya budaya kalimantan, terlebih rasanya kalimantan menjadi eksotis untuk difilmkan setelah mendapat sorotan lebih pasca politik belakangan ini.

Ada satu hal lagi pada puisi yang dibacakan pasa sesi qna cukup membantu saya lebih mendalam memahami film ini.

Ditonton di JAFF 19

Ini tuh emang cuma Garin yang bisa bikin film semagis ini! Agak nyesel kenapa ga beli cine concernya apalagi waktu nyamperin ke GIK denger dari luar venue aja udah merinding.

Samsara memberikan ruang embodiment reflektif soal tubuh, kelas, mistika masyarakat Indonesia, sampai persoalan yang lagi rame soal lack of father figure. Dari gerakan tari dalam ruang bisu yang diiringi musik elektronik, ketiganya di atas kertas kesannya bukan sebuah hal yang in line apalagi kau lihat konteks waktu, tetapi Samsara pakai ketiganya sebagai medium yang berjalan apik nan epik.