Setiap scene dalam film ini ditulis dan dieksekusi dengan sangat baik sehingga membuat pesan yang ingin disampaikan berhasil tersampaikan dengan sangat baik juga. Begitu juga setiap karakternya ditulis dengan sangat indah dan pemerannya pun sukses dalam memerankannya. Contohnya Bagus, dari yang awalnya sangat gak peka dan egois perlahan mulai menyadarinya dan mulai berubah, tapi perubahan itu tentu saja ada alasan dibaliknya.

Sinematografinya juga gak kalah bagus. Penggunaan teknik pengambilan gambar yang sesuai dengan scenenya membuat scene tersebut menjadi lebih hidup dan menarik. Keputusan untuk menggunakan format hitam putih juga sangat tepat karena sesuai dengan tujuan dari film ini sendiri.

Yang kurang dari film ini ada di beberapa bagian komedinya yang terasa miss seakan komedinya hanya sekadar ditempel dalam scene yang kalau dihapus mungkin tidak akan berpengaruh apa-apa atau bahkan lebih baik.

Dengan cerita yang unik dan tentu saja lucu, Agak Laen sukses besar sebagai film komedi yang menghibur semua penonton. Penokohan masing-masing karakter utamanya juga ditulis dengan baik dan sangat relate dengan penonton.

Chemistry Boris, Jegel, Oki, dan Bene yang sudah sering tampil bersama juga sangat membantu akting mereka sehingga komedi-komedi di dalam film ini terasa sangat natural.

Tapi di sisi lain, beberapa komedi di dalam film ini terkesan hanya sekadar sketsa yang ditambahkan dan tidak memengaruhi alur ceritanya sehingga durasinya menjadi terlalu lama.

Exhuma termasuk film horror yang unik karena bukan menjual kengerian dari "hantu" atau jumpscare yang mengagetkan. Hal yang lebih tepat menggambarkan horror dari film ini adalah "angker" yang menghadirkan suasana mencekam di sepanjang film meskipun tanpa adanya "penampakan".

Sayangnya dalam durasi lebih 2 jam dan dibagi menjadi 2 babak, suasana mencekam film ini lebih terasa di babak kedua sedangkan babak pertamanya lebih terasa seperti pengantar (yang terlalu lama).

Karakter di film ini juga kurang dieksplor sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam setiap tindakan atau kemunculannya. Contohnya, Hwa-Rim yang latar belakangnya tidak dijelaskan secara mendalam, padahal itu penting karena latar belakangnya berperan besar dalam film ini.

Sebagai film horror komedi, eksekusi komedi di film ini jauh lebih baik daripada eksekusi horrornya. Meskipun ada beberapa komedinya yang lebih relate dengan orang Jawa (atau orang yang tahu budaya Jawa), tapi mayoritas komedinya bersifat universal.

Untuk horrornya sendiri, film ini gagal dalam membuat suasana menyeramkan sehingga harus mengandalkan jurus pamungkas "jumpscare". Begitu juga untuk drama setiap karakternya yang kurang dapat menarik empati penonton, termasuk romansa antara Bagas dan Lenni yang terkesan dipaksakan (apalagi di bagian akhir).

Untuk menyamarkan siapa "hantu" sebenarnya, film ini terlalu memaksakan keanehan-keanehan pada karakternya. Meskipun keanehan tersebut dieksekusi menjadi komedi dan drama, tapi tetap saja masih terasa mengganjal.

Siapa sih yang tidak suka Minion? Melihat tingkah anehnya saja sudah cukup untuk membuat terhibur. Ya setidaknya itulah satu-satunya yang bagus dari film satu ini, meskipun screen timenya sangat sedikit (termasuk Mega Minion).

Selain Minion, tidak ada yang bagus dari film ini. Alur ceritanya sangat dipaksakan dan terlalu banyak adegan-adegan tambahan yang tidak terlalu penting. Begitu juga karakter-karakter barunya tidak ada yang memorable, mulai dari Gru Jr. yang tidak suka Ayahnya, Maxime Le Mal yang ingin balas dendam, dan Poppy Prescott yang ingin menjadi penjahat, semuanya terasa hanya sekadar lewat.

Pertarungan akhir antara Gru dan Maxime Le Mal juga tidak menarik sama sekali, tidak ada pertarungan epik atau momen dramatis yang dapat memantik emosi penonton. Bahkan kemunculan karakter-karakter film sebelumnya di akhir film ini tidak membantu sama sekali.

Dengan tema keluarga Batak sebenarnya film ini dieksekusi dengan cukup baik, mulai dari ceritanya sampai komedinya sangat relate dengan orang Batak apalagi dengan penggunaan bahasa Batak di beberapa adegan. Namun, film ini tetap disesuaikan agar bisa dinikmati semua kalangan tanpa menghilangkan esensi budaya Bataknya.

Akting Raditya Dika sebagai Sahat di film ini sebenarnya sangat monoton dan kaku, tapi itu justru mendukung aspek komedi dalam film ini apalagi saat bagian akhir film. Sayangnya, tidak untuk bagian dramatis dan "dewasa"nya yang tidak dapat mengimbangi akting Ariel Tatum sebagai Minar.

Penulisan karakter Sahat sebagai perokok tidak penting karena Sahat sama sekali tidak pernah diperlihatkan merokok (hanya sesekali memegang sebatang rokok), kecuali untuk satu alasan tertentu. Oh iya, penggunaan CGI yang kurang mulus di akhir sedikit mengganggu.