Film keempat ini mengukuhkan Roundup sebagai salah satu film aksi crime thriller terbaik yang secara konsisten memberikan sajian baku hantam polisi lawan kriminal, yang seperti tinju Don Lee, keras dan membekas.

Bagian yang paling gue suka dari film ini adalah (tentu saja) berantemnya. Unik dan sangat Asia sekali. Beda sama film sejenis buatan Barat yang dar der dor, The Roundup: Punishment lebih menonjolkan bela diri. Kalo pun ada senjata yang dominan, pisau yang dipakai.

Pisau ini menjadi bagian paling unik dalam koreografinya. Karakteristiknya ringan, tajam, cepat, mematikan, dan ngga berisik. Beda dengan pistol, sehingga menjadi bagian yang vital dan penting sewaktu dipakai dalam adegan berkelahinya.

The Roundup: Punishment ini pake formula yang sama persis dengan tiga film sebelumnya, namun ngga berasa monoton karena penggarapan yang baik. Chemistry antar pemainnya juga keliatan semakin solid. Selain itu, selipan humornya pun masih cukup lucu, meski gue akui agar repetitif.

Secara keseluruhan, The Roundup: Punishment adalah tipikal film yang menyenangkan saat ditonton. Keseruannya saat menampilkan adegan aksi sangat terasa. It's a fun watch for sure.

Salah satu film paling menghibur buat gue tahun ini, terlepas dari beberapa hal yang membuatnya masih jauh di bawah film sebelumnya secara kualitas. Apalagi dengan musuh utama yang ngga se-mengintimidasi lawan-lawan Godzilla dan Kong sebelumnya. Fun but blant.

Godzilla x Kong: The New Empire memang bagus secara visual. Film ini juga bisa dibilang full action dengan adegan-adegan gelut para titan yang digarap dengan baik. Namun soal cerita, terus terang cukup lemah. Penokohan karakter manusianya pun dibuat se-klise mungkin.

Bila Godzilla versi Jepang makin ke sini dibuat semakin serius dengan cerita yang lebih dalam, Godzilla versi Amerika ini justru sebaliknya, dibuat semakin "konyol" dan hanya mengedepankan unsur fun-nya saja. Meski (mungkin) sebagian penonton ngga terlalu peduli dan suka-suka saja.

Secara keseluruhan, Godzilla x Kong: The New Empire masih oke menjadi film buat seru-seruan. Apalagi dengan adegan-adegan baku hantam titan yang megah. Namun praktisnya "ngga ada cerita" di film ini. Asyik dan menyenangkan pas ditonton, tapi mudah terlupakan begitu credit roll muncul.

Abigail adalah salah satu film vampire terbaik yang pernah dibuat. Hadir dengan konsep yang sedikit berbeda dari film sejenis, film ini membawa genre horor penghisap darah ke level yang lebih tinggi, namun tetap ngga melupakan mitos dan mitologi klasiknya.

Lebih dari separuh durasi filmnya terjadi di satu lokasi, mengingatkan gue sama salah satu film lainnya dari sang sutradara yang berjudul 'Ready or Not'. Bedanya, di film ini ceritanya sekelompok penculik terjebak di satu rumah bersama seorang vampire.

Ngga ada pengenalan karakter yang proper di film ini. Penonton (gue) dibuat sama bingungnya dengan para karakter penculik. Namun seiring film berjalan, satu persatu latar belakang mereka mulai terungkap. Karakter vampire-nya pun ngga diumbar, namun berbagai hint bertebaran di rumah tersebut.

Kalau jeli pas nonton, kisah hidup sang vampire diceritakan secara non verbal melalui visual yang ada di sepanjang film. Perlu konsentrasi buat menyatukan berbagai hint yang banyak sekali. Ini salah satu keseruan selain menonton. Mencari easter eggs. Ketika akhirnya semua diungkap, ada sensasi puas yang gue rasakan.

Penokohan ngga ada yang istimewa, semua pemainnya memerankan karakternya dengan baik. Ceritanya, meski sederhana, tapi cukup bagus, karena cara penyajiannya yang memang baik. Sehingga apa yang sebenernya biasa saja, jadi jauh lebih menarik.

Abigail memuaskan dahaga gue akan sebuah film horor vampire yang bagus. Ketegangan saat menontonnya cukup terasa. Oh ya, film ini banyak menyajikan adegan gore. Penuh darah. Secara keseluruhan, ngga mengecewakan dan top banget!

Siksaan banget nonton ini. Lawakan ala Warkop DKI-nya udah ngga relevan sama standar film sekarang. Basi.

City Hunter menjadi salah satu adaptasi manga terbaik yang pernah dibuat. Setelah lama menunggu, akhirnya Jepang bikin film live action City Hunter yang hasilnya memuaskan. Sangat menghibur dengan segala keseruan dan gaya bercerita yang memikat.

Sejak gue menobatkan Nicky Larson (2018) sebagai film adaptasi City Hunter terbaik, posisi tersebut akhirnya tergeser. City Hunter Jepang ini sekarang jadi yang terbaik versi gue. Pemilihan pemainnya pas (tadinya sempat ragu sama pemeran Kaori).

Akting para pemainnya memuaskan. Semuanya berperan dengan sangat baik. Buat adegan aksinya, gokil. Koreografinya bagus banget. Apalagi didukung sama pergerakan kamera yang juga apik. Semua aksi Ryo Saeba persis seperti apa yang gue bayangkan (dan lihat) pas baca manga-nya.

City Hunter mengurangi unsur komedi yang ada di manga. Selain itu, adegan-adegan slapstick dihilangkan seluruhnya. Ryo Saeba juga jadi lebih serius dan ngga terlalu mesum. Tapi itu justru jadi hal yang baik. Penyesuaian yang dilakukan oleh sutradara menurut gue adalah pilihan yang tepat.

City Hunter menghadirkan cerita "origin" awal mula Kaori ngikut Ryo, dan fokusnya ke situ terus. Jadi meski ada konflik utama yang mengambil porsi terbesar di film ini, bagian mereka tetap kuat. Chemistry-nya terbangun dengan baik karena ngga banyak berbagi scene sama karakter-karakter lainnya.

Selain itu, penonton juga dikasih waktu yang cukup buat mengenal Makimura dan Saeko, yang walau waktu tampilnya ngga banyak, tapi tetap memiliki kehadiran yang berkesan. Penulisannya rapi banget.

Secara keseluruhan, City Hunter dengan segala penyesuaian (dan perubahannya) berhasil memuaskan gue sebagai pembaca manga-nya. Memang film ini terkesan masih menyimpan banyak hal, mungkin buat sekuelnya nanti (kalo ada). Tapi buat saat ini, udah seneng banget. Bagus!

Sungguh mengerikan apa yang ditampilkan dalam Civil War. Sebuah film yang meski fiksi, tapi terasa sangat nyata, membawa penonton menyaksikan perang dari sudut pandang sekelompok jurnalis yang menantang maut demi mendapatkan berita.

Tema jurnalisme di Civil War memberikan aspek lain dari sebuah film perang, karena dirancang melalui kacamata yang berbeda. Meski ngga bersenjata, namun para wartawan ini harus berada di situasi yang sama dengan para tentara, memiliki risiko yang sama, dan lengah sedikit, nyawa melayang.

Adegan-adegan emosionalnya dihadirkan melalui slow motion, gambar bisu, hingga jepretan foto hitam putih. Semuanya tampil kuat dengan balutan musik pengiring yang bikin dada jadi sesak. Humor-humor satirnya tipis, tapi cukup tajam hujamannya.

Babak akhir film ini beneran menjadi momen yang paling menegangkan. Apalagi dengan gaya pengambilan gambar yang seolah-olah mengajak gue masuk ke dalam film, berada di situasi yang sama. Sebuah pengalaman menonton yang menguras emosi.

Secara keseluruhan, Civil War adalah film yang memberikan gambaran betapa mengerikannya perang saudara di negeri sendiri. Suara tembakannya masih terngiang di kepala. Se-powerful itu memang. Film bagus.