Kecewa adalah kata pertama yang kepikiran ketika gue selesai menonton '24 Jam Bersama Gaspar'. Tapi bukan karena filmnya jelek, melainkan karena alih wahana ini menjadikan kisah Gaspar yang gue kenal, jadi sesuatu yang terlalu baru. Keunikannya hilang.
Secara garis besar, versi film ini masih menggunakan premis yang sama seperti di novelnya, namun eksekusinya dibuat sepenuhnya baru. Hal yang wajar untuk sebuah film adaptasi. Namun perubahannya justru mematikan potensi besar yang di bawa oleh novelnya, bila difilmkan sesuai apa yang tertulis.
Membandingkan film dan novel Gaspar memang ngga terelakkan, apalagi buat gue yang mencintai novelnya. Ketika membaca, gue berpikir kalau ini adalah jenis novel yang sangat mustahil untuk dibuat film. Ada bagian-bagian yang menurut gue ngga mungkin berhasil bila difilmkan. Terbukti benar, seluruh bagian tersebut dipangkas habis.
Gue ngga tahu bagaimana proses kreatif sang sutradara dan timnya, tapi imbas dari pemangkasan besar-besaran ini membuat versi filmnya jadi mengecewakan. Terlebih lagi dengan alur cerita film yang dibuat sangat cepat, dengan memberikan simplifikasi pada beberapa hal.
Selain memangkas, film ini juga merubah hal paling fundamental dari film ini. Alasan kenapa Kirana menghilang. Namun mungkin hal ini dilakukan karena versi novelnya jauh lebih menyakitkan, meski yang versi film juga memberi kesan itu, namun feel jahatnya sangat jauh berbeda.
Ada karakter dalam momen dari novel yang dihilangkan. Namun untuk yang ini berkaitan dengan apa yang gue tulis sebelumnya soal bagian yang mustahil untuk difilmkan. Bila karakter ini dimunculkan, maka (mungkin) akan sangat sulit untuk "menyembunyikannya" sebagai twist. Meski kalau ada (dan berhasil), akan sangat mindblown.
Meski begitu, kecewa bukan berarti gue ngga suka filmnya. Ada beberapa aspek yang gue suka dari film ini. Atmosfer distant-future yang disajikan, digambarkan dengan sangat menarik. Dialog-dialog bakunya juga ngga mengganggu, malah gue suka.
Akting para pemainnya cukup meyakinkan gue untuk terus menonton dari awal hingga akhir. Apalagi dengan balutan lagu-lagu yang masuk ke adegan-adegannya dengan pas. Sayang saja Cortazar terlupakan. Motor ini kehilangan nyawanya di film, karena hadir sebagai kendaraan biasa, tanpa ikatan emosional dengan Gaspar.
Secara keseluruhan, 24 Jam Bersama Gaspar adalah sebuah film adaptasi novel yang jauh berbeda dengan materi aslinya. Serupa tapi tak sama. Secara personal, gue suka versi film ini, namun jauh lebih cinta versi novelnya.