Yolo

"Totalitas Menurunkan Berat Badan 50kg"

Desas desus terdengar kalau Yolo ini adalah remake dari 100 Yen Love (2014) tak membuat xipe underestimate walau xipe sendiri belum pernah menonton originalnya, karena nampaknya remake ini punya sentuhan yang beda.

Alasan paling menarik jelas tidak lain tidak bukan karena Jia Ling memborong sekaligus kursi sutradara, penulis naskah, serta pemeran utama bahkan digadang-gadang berdedikasi merubah drastis timbangan berat badannya, nampak "cewek" sekali bukan?

Pengenalan lakon utama yang berbadan gemuk malas-malasan, lesu, tak ada semangat hidup menjadi bahan olok-olakan keluarga dan sekitar. Eksekusinya masih berbau stereotip, dua highlight utama yakni ditikung sahabat sendiri seakan cewek gendut itu rentan "tidak laku", dan glorifikasi perselingkuhan seakan cewek gendut itu "tak merangsang birahi".

Setelah menerima stereotip itu, protagonis pun akhirnya minggat berusaha mencoba bangkit dengan hidup mandiri bekerja sebagai pelayan. Pertemuan klise dengan pelatih tinju pun dimulai, dari sini mulai memasuki dunia pertinjuan.

Motivasi mengikuti tinju cukup kuat beralasan sebagai pelarian serta ajang pembuktian bahwa protagonis mampu bangkit dan menemukan jati dirinya.

Struggle di dunia tinjunya tidak begitu banyak yang bisa diulik dan kurang memikat, namun disini lah Jia Ling unjuk gigi atas dedikasinya bertransformasi karena cukup detail diperlihatkan training nya.

Adegan-adegan pertandingan tinjunya cukup seru dan intense di akhir, bahkan di credit roll ada dokumentasi real tinjunya beserta proses training Jia Ling bertransformasi, jujur ini lebih menarik dari filmnya itu sendiri, sangat menarik, andai saja kita bisa melihat full dokumenter nya.

Overall Yolo masih menginspirasi dan menyentuh walau belum sampai kadar yang powerful.

The Roundup: Punishment

"Kembalinya pukulan Ma Dong-seok yang menggetarkan jiwa"

Satu hal yang membuat franchise The Roundup ini seru selain karena pukulan Ma Dong-seok adalah bagaimana di sini kita diperlihatkan polisi yang benar-benar serius memberantas kejahatan tanpa ampun yang mana dalam realitanya, yang terjadi justru sebaliknya.


Kali ini, Ma Seok-do (Ma Dong-seok) beserta timnya harus menangani kasus judi online, kasus yang berbeda dari kasus-kasus sebelumnya karena sebagian implementasinya dilakukan secara daring yang mana ini jadi kelemahan bagi timnya Seok-do. Hal itu membuat mereka harus bekerja sama dengan tim cyber.



Secara formula masih sama. Yang membedakan adalah bagaimana film keempat dari installment The Roundup memberikan villain yang benar-benar terasa mengintimidasi dan mengancam hingga minvies saat menonton sempat merasa kalau akhirnya Ma Dong-seok punya lawan sepadan. Baek Chang-gi (Kim Moo-yul) tidak hanya jadi villain yang tengil nan kejam, tetapi kemampuan fist fight-nya yang luar biasa juga menjadi ancaman tersendiri.


Adegan-adegan action-nya semakin mantap. Mulai dari pukulan Seok-do yang dengan mudah dapat membuat musuh tumbang sampai fist fight Chang-gi yang satisfying untuk disaksikan. Eskalasi dan koreografinya semakin gila.


Elemen komedinya juga masih dipertahankan dan masih tetap lucu. Kehadiran Park Ji-hwan dan adegan investigasi masih tetap ada dan itu bagus untuk mencairkan suasana.

Agak disayangkan eksplorasi seputar judi online dan sejenisnya hanya ada di permukaan saja. Di beberapa titik cara tim Seok-do menginvestigasi masih dengan cara yang sama walau ada tim cyber dan kesulitan-kesulitan tim Seok-do dalam menangani kejahatan cyber juga hanya sekilas saja, selebihnya masih bertarung dengan fisik dengan para musuh.


Overall walaupun masih menggunakan formula yang sama, The Roundup: Punishment semakin seru lewat eskalasi action yang naik dan villain yang amat mengintimidasi lewat karakter dan keahliannya dalam fist fight.

Immaculate

Suster Cecilia datang dari Amerika untuk mengabdi di biara tua yang terletak di desa terpencil, Italia. Biara tersebut merupakan tempat untuk merawat para biarawati tua yang sakit. Cecilia yang taat mengambil sumpahnya untuk membantu mereka di biara tua itu. Namun suatu hari Cecilia mendadak hamil dalam keadaan suci (seperti kisahnya Bunda Maria). Perlahan ia menyadari bahwa biara tersebut menyimpan rahasia kelam dan rencana yang bisa mengancam nyawanya.

Immaculate seperti film horror pada umumnya. Terbalut misteri, lighting yang gelap, atmosfer mencekam dan adegan sadis. Konsepnya pun klise karena berfokus pada latar belakang seorang biarawati. Namun plot yang dihadirkan mungkin cukup berbeda karena memadukan unsur keagamaan dengan sedikit sentuhan sains. Film ini mengandung banyak sekali teriakan yang memekik bahkan sejak awal film dimulai. Pacingnya berjalan cepat dan jumpscare dengan porsi yang pas. Elemen soundnya berhasil membangun atmosfer semakin meresahkan, sesekali diiringi dengan lagu-lagu choir khas gereja. Cinematography nya juga majestic walau latarnya hanya berfokus pada biara tersebut. Menampilkan keindahan biara yang penuh ornamen dan misteri.

Namun sayangnya film ini memiliki cukup banyak plot hole dan adegan-adegan yang agak ga masuk akal. Seperti pada adegan Father Sal Tedeschi yang sudah terbakar namun ia masih sanggup berlari bahkan mendobrak pintu. Lalu maksud dan tujuan biara menjadikan para biarawati mereka termasuk Cecilia untuk mengandung tanpa berhubungan. Mereka berencana melahirkan Yesus baru. Tapi untuk apa ?? Pun tidak dijelaskan secara gamblang. Tapi semua termaafkan dengan peforma apik Sidney Sweeney sebagai Cecilia. Dan bagusnya film ini ternyata bukan tipikal horror setan atau exorcism. Melainkan menggali kegilaan manusia berkelakuan setan yang bersembunyi dibalik dalil agama yang mereka gaungkan.

Overall Immaculate masih enjoyable ditonton buat para penikmat horror.

Civil War, sebuah cerita tentang perjalanan sekelompok jurnalis perang di era bobroknya demokrasi sebuah negara, berada di garis terdepan sebagai mata dan telinga untuk dunia yang mencatat dan mengabadikan terjadinya peristiwa sejarah.

Film yang semua aspeknya terasa sempurna. Memberikan sensasi horor psikologis justru dengan latar siang yang terang benderang. Visualisasi yang indah, penuh makna di setiap pengambilan gambar. Sound design megah sekaligus creepy yang sukses membuat terpenjat berkali-kali dan merangsang bulukuduk berdiri. Karakterisasi pun kuat dan merata, sesuai porsi, serta memberikan karakter development yang sukses menohok sisi kemanusiaan penonton pada akhirnya.

Penonton dibuat seakan menjadi bagian dari kelompok jurnalis ini yang hendak pergi ke Washington DC untuk menjalankan misi menemui dan mewawancarai Presiden. Dalam situasi-situasi genting, kita diseret untuk terlibat secara psikologis, membuat adrenalin meningkat dan tanpa sadar kakipun ikut berjingkat di kursi bioskop. Berbagai rasa ditanggung bersama, takut, sedih, passionate, bahagia, kita dibuat seakan berada di dalamnya. Hal ini tak lepas dari kombinasi penyutradaraan visual dan sound designer yang luar biasa epic. Sebuah pengalaman sinematik yang extraordinary.

Meskipun termasuk kategori 'slowburn' yang kerap dianggap membosankan, film Civil War menawarkan dialog-dialog unik yang terkadang menggelitik diri sebagai manusia. Percakapan yang sebenarnya sederhana namun jika dilihat dari sudut pandang peperangan, akan memiliki makna yang mendalam.

Film Civil War sangat aku rekomendasikan untuk dinikmati dalam format bioskop dengan ketajaman speaker dan layar yang maksimal. Seperti studio IMAX.

Nonton duluan di negeri tetangga, berikut + dan - nya:

+
1. Vibes mirip seperti Ready or Not (sutradaranya sama).
2. Melissa Barrera is a new scream queen.
3. Alisha Weir bener" bocah kematian.

-
1. Beberapa komedinya seperti dipaksakan.
2. 3rd act yang berantakan. Padahal buildup sudah bagus di awal hingga di pertengahan.

Perfect. Salah satu kandidat film terbaik tahun ini! Bagi Minvies sendiri Challengers > Dune: Part Two.

Zendaya? Keren
Mike Faist? Gokil
Josh O'Connor? Gilak.

Highly recommended!