Maaf, tapi yg bagus cuman 1/4 akhir film alias endingnya doang. 3/4 awal film terasa diadaptasi dari serial cantik komik Jepang tanpa ada penyesuaian terhadap realitas dunia nyata, jatuhnya seperti dystopian. K yg disetiap scene selalu takjub saat menatap Cream bagai Peasant yang menatap Princess Kate Middleton, lalu Cream dgn kepribadiannya yg bubbly bagaikan Jennie yg bad mood setiap kali Blackpink konser di kawasan Asia Tenggara. Chemistry yg terbangun diantara keduanya agak… weird… atau malah cringe…
Dialog-dialognya pun terasa kering, contohnya K mengatakan calon suami Cream beruntung saat Cream memasak mie instan (?).
Hanya ada dua karakter yg terasa real, yaitu Vero dengan dialognya yg nge-goblok-goblokin K, dan penyanyi Rossa yg bermain sebagai dirinya sendiri namun saat akting nangis ada air matanya… even Cream dan K gak keluar air mata saat menangis 😭
Overall, film drama yg cocok utk melupakan kehidupan nyata sejenak dan masuk ke dalam kehidupan dystopian K dan Cream yg sama mengenaskannya dgn kehidupan nyata penonton 🥲

Gowok is halfway there. Punya potensi utk menjadi film cult, tapi sebagaimana khas film Hanung lainnya, story development nya agak kureng, walau tidak separah Rahasia Rasa. Cerita ttg si Gowok itu sendiri terasa penting, tapi koq ya dramatisasinya sangat biasa alias tidak istimewa. Bahkan proses meng-gowok yg bisa didramatisasi dan dijadikan beberapa scene, malah hanya disajikan dalam satu scene melalui dialog menggurui yg diucapkan nyai Santi.
Raihanun dan Reza Rahardian, dua aktor watak masa kini, pun tak berkutik saat berusaha keras menghidupkan karakter yang tak berkembang. Malah dua katakter muda yg diperankan Alika dan Devano lah yg menghidupkan film ini dgn sensualitas muda yg merupakan jiwa dari gowok itu sendiri. Sehingga paruh awal adalah kekuatan film ini.
Komunis dan PKI? Tempelan cerita yg dipaksakan dan kalau dihilangkan dan diganti dgn story development yg lain mungkin filmnya bisa lebih menarik.
Uncut nya gak terasa di bagian mana.
Overall, Gowok patut ditonton dgn ekspektasi yg rendah spy tidak kecewa.

Peningkatan signifikan dari film yg pertama. Teror dan ketegangannya bertubi-tubi dan cukup brutal. Ceritanya mengalir lancar walau endingnya agak terburu2. Downsidenya adalah pada Karakter Adi yang aksinya seharusnya lebih krusial, dan boso jowo Yogo dan Wulan yg terdengar annoying.Overall, film ini tidak mengecewakan sama sekali.

A very interesting attempt to recreate a Hitchcock’s cult classic thriller inspired, and somehow it works for the better parts. Mood visual, color blocking, dan musiknya cukup mendukung kemisteriusan cerita. Openingnya cukup menggelegar, namun setelahnya tensi cerita agak melorot di satu jam pertama karena clue-clue yg ditampilkan tidak mind blowing, sehingga durasi di awal terasa sangat panjang dan cukup membosankan. Namun di satu jam terakhir tensi cerita mulai naik lagi secara perlahan sampai peak-nya di ending dgn twist yg jaw dropping.
Bront Palarae memberikan performa akting karismatik dgn sorot mata menyelidik. Namun bintangnya adalah Arya Saloka dgn akting “muka dua”-nya yg cukup impressif. Davina Karamoy kembali berakting sebagai pelakor, which is not a good look setelah peran yg sama ia mainkan dalam “Ipar”, tapi endingnya cukup memuaskan bagi karakternya. Overall, thriller yg sangat baik. Bravo.

The only interesting thing about this film is Luna Maya, and she’s even not that iconic (I mean, not yet).
There is almost zero story development from the beginning of the film up until the third quarter of the duration, and suddenly Anggy gave viewers twist at the last quarter that almost felt like a biblical story. WTF.

Naskahnya bagus. Tensi cerita dibangun sedikit demi sedikit dan peak-nya menjelang ending. Misterinya ada dan karakter2 di sekitar tokoh utama dibuat mencurigakan sehingga penonton menebak2 siapa dalang sebenarnya. Sayangnya, horornya memang agak downgrade karena digarap tidak seserius menggarap naskahnya. Overall, Dasim adalah salah satu horor terbagus tahun ini.