Sebenarnya sempat menghindari menonton film ini karena dari judul dan trailer terlihat tendensi masalah pembawaan jokes yang terjerumus pada seksis dan misoginistik. Namun, belakangan ketika banyaknya testimoni mengenai adanya bloopers di tengah film, saya punya pertanyaan lain, apakah film ini mengeksekusi hal tersebut sebagai eksplorasi teknik bentuk film sebagai meta sinema komedi.
Sayangnya, meski ada upaya kreator ingin mengkritisi perilaku masyarakat, kehadiran guyonan seksis, misoginistik, bahkan ableist banyak sekali dan terkesan eksesif yang bukan lagi menertawakan perilaku, melainkan sudah menertawakan orang lain yang terobjektifikasi.
Lantas, kehadiran bloopers nyatanya tak sepenuhnya menempatkan filmnya sebagai sajian meta yang memberi jarak berdialog dan mengkritisi komentar sosial yang diangkatnya. Rasanya hanya sebatas ketidakpercayaan diri pada komedi segmented yang dibawakan di tengah isinya yang seksis tak dapat diterima banyak orang, bahkan menjijikan.
Tetapi sampai mana kita bisa membuat batasan suatu guyonan? Ada pendapat menyebut bahwa kritik tak seharusnya memaksakan moral individu pada karya karena dapat mereduksi kompleksitas yang ingin dibawakan pengkaryanya. GJLS di sini ingin kita menertawakan anak-anak muda goblok sebagai kritik terhadap masyarakat Indonesia khususnya kelas bawah/miskin. Namun, presentasinya nyatanya terjebak dalam labeling dan objektifikasi masyarakat miskin, cacat, dan perempuan.
Beberapa pendapat yang mendukung film ini seringkali menyadur pernyataan Warkop DKI "tertawa lah sebelum tertawa itu dilarang". Sedikit ironis ketika istilah itu muncul lebih pada kritikan Warkop DKI pada pemerintah dianggap membahayakan, meski di saat yang bersamaan juga banyak kritik terhadap guyonan film-film Warkop DKI yang seksis.
Komedi bisa berhasil karena adanya resonansi diri penontonnya dengan pesan komedik, bisa karena kedekatan materi atau persamaan moral. Guyonan seksis sampai ableist sebelumnya sudah mendapat kritik pada film Agak Laen (2024), banyak yang menyebut gaya komedi ini tidak sesuai dengan karakter moral masa kini yang lebih banyak "berhati-hati".
GJLS di sini bahkan terang-terangan membawa aktor berkebutuhan khusus sebagai bit komedinya. Jika komika berkebutuhan khusus menjadikan kekurangannya sebagai guyonan untuk tertawa bersama atau ikut merasakan bersama. Namun, hal tersebut terjadi karena dalam sudut pandang orang pertama yang berkebutuhan khusus. Hal ini berbeda dengan film GJLS yang menempatkan mereka oleh sudut pandang ketiga. Bahkan di suatu adegan dua karakter penyandang dwarfisme dilempar kursi dan dilanjutkan dengan insert bloopers yang ingin menjadikan hal itu sebagai tertawaan, alih-alih keberpihakan.
Kalau dibandingkan dengan Agak Laen (2024) yang dikritik tidak menggunakan aktor berkebutuhan khusus tentang wacana representasi aktor, sedangkan GJLS sudah melakukan representasi tersebut. Namun, hal ini memiliki lapisan yang berbeda dengan GJLS, karena Agak Laen karakter berkebutuhan khusus memiliki peran penting dalam plot sebagai kunci konflik dan didesain untuk membuat penonton berpihak padanya, sedangkan GJLS karakter sumbing hadir sebagai guyonan dan hanya hadir dalam dua scene dengan salah satunya untuk bit mesum.
Belum lagi beberapa kali label dan ekspresi permainan lidah, sampai adanya mastrubasi dengan suara orgasme yang kencang ditujukan pada objektifikasi perempuan sebagai objek penghibur dan distraksi.
Jika pembelaan guyonan-guyonan "bahaya" ini ditujukan dengan konklusi "karma" di akhir seperti Rispo digebukin, tetapi nyatanya tumpang sebelah dengan tak adanya resolusi keberpihakan pada dua preman berkebutuhan khusus. Pun meskipun demikian adanya resolusi karna, tak dapat membenarkan presentasi seksime dan ableist secara terang-terangan dan sebagai suguhan komedi yang didesain untuk ditertawakan penontonnya.
Di sini justru apa yang sebenarnya guyonan GJLS: Ibuku Ibu-Ibu (2025) ingin kita tertawakan? Ironis terhadap perilaku pemuda dengan label sampah masyarakat atau menertawakan objektifikasi komedinya? Dua-duanya pun tak menjadi refleksi dan kritik yang kuat, hanya hadir di permukaan, sering hilang fokus, dan terjebak pada naratif usang. Toh observasi penonton di penayangan saya tak ramai gelak tawa karena beberapa presentasi memang menjijikan. Sesuai judulnya, memang ini film GJLS!