Film ini jujur saja sangat membosankan, tak ada hal baru dan sesuatu yang segar, hanya soal wanita yang menderita cancer bersama kucingnya yang bisu bertemu seorang pria Inggris penakut yang berusaha survive di kota yang sudah luluh lantak. Plot film ini dibuat simpel, tujuannya hanya demi pizza ditengah dunia yang tidak lagi aman, saya rasa pendekatannya ingin lebih sentimentil dan sederhana. Tapi, sayang plot film ini benar2 hanya berbicara soal surviving yang terlalu lurus dengan pola jump scare kacangan. Satu2 nya yang meng-carry film ini hanya akting Lupita Nyong'o, ekspresi dan sorot matanya sukses merealisasikan rasa takut bercampur kesedihan, ditambah penderitaannya melawan penyakit. Visualnya juga oke, film ini mampu menampilkan kota yang hancur dalam satu hari satu malam, menambah dramatisasi adegan gimana gedung2 kantoran tinggi hancur, trek MRT yang dibanjiri air, sampai jalanan yang penuh kobaran api dan abu bertebaran dijalan.

Film remake? ini seru juga, secara visual efek bener2 luar biasa dan kerasa realistis, setiap adegan aksi dan nuansanya penuh ketegangan dan keseruan dalam menaklukan tornado. Dari segi pengenalan karakternya pun dibuat menarik, ada konflik antara sudut pandang karakternya yang dibagi 2 latar belakang, Kate (Daisy Edgar-Jones) sebagai peneliti dari kota New York sedangkan Owens (Glenn Powell) yang lebih urakan dengan tampilan koboinya menampilkan dinamika yang seru, jadi tidak melulu filmnya menjelaskan dari sisi saintifik yang serius tapi juga ada keliaran dan kegilaan yang terjadi. Mungkin kekurangan film ini ada di pacing cerita sih, aksi dan dramanya sering berselang-seling jadi sulit buat mempertahankan tensi ketegangan, meski narasi cerita sudah memaksakan fenomena tornado sering terjadi serasa tiap hari. Overall, film blockbuster ini cukup menyenangkan, dikala film bertema natural disaster udah mulai jarang digarap.

Boy Kills World sebetulnya ingin mengawinkan semua elemen film aksi populer semacam Deadpool, The Raid, dan John Wick yang identik dengan kekerasan tingkat tinggi dengan variasi adu tangan kosong, senjata tajam, pistol dan senapan yang beragam. Bahkan sutradara Moritz Mohr ini pun ingin berusaha lebih keren dengan menyuntikan unsur game, parodi, silat, bahkan kisah distopia ala2 Hunger Games, tapi apakah hasilnya bagus? Belum tentu. Film ini memang tampak keren diluar, ada Bill Skarsgård dan Yayan Ruhian disini, dari adegan penuh gore, darah dan aksi over the top yang memaksimalkan absurditas tapi tetap menyajikan koreografi yang intens, tapi sayang film ini kurang mampu memadukan aksi dan komedi yang jatuhnya campur aduk, tidak konsisten yang diperparah oleh jokes2nya yang super garing. Pengarahan ceritanya juga terburu2, setiap dialognya juga mempersulit dengan beberapa adegan yang mengganggu saat non-aksi. Tapi, saya apresiasi pada penulisan plotnya, yang masih mencoba membelokkan persepsi penonton dengan kejutannya yang ga sederhana.

Film distopia saat amerika mengalami kejatuhan, kekacauan dan perang sipil di negaranya yang dipimpin oleh presiden diktator. Saya suka pengemasan kekacauan dunianya, ketegangan dan konflik yang terjadi, lewat sudut pandang jurnalistik membuat saya memahami lebih dalam cerita dan konflik politiknya secara luas lewat road movienya, apalagi didukung visualnya yang indah nan sinematik yang berasal dari suasana mencekam dan gambaran menakutkannya perang saudara disana. Saya suka akting Kirsten Dunst disini, bener2 tampak seperti jurnalis senior yang sudah profesional yang sudah mencicipi asam garam kehidupan. Kekurangan film ini ada pada pemilihan musik yang kadang vibesnya ga masuk dengan scene2 yang terjadi, juga cara mengakhiri cerita salah satu karakter di film ini yang rada maksa dan kurang berkesan, meski klimaks film ini untungnya memberikan akhir yang konklusif.