Bisa dibilang ini kelanjutan film trilogi Planet of the Apes 7 Tahun lalu di era Caesar yang kemudian estafet diberikan pada berpuluh2 generasi berikutnya dengan cerita baru dan karakter2 baru. Hanya saja kisah dan perspektifnya dibalik sekarang diperlihatkan peradaban dan kekuasaan dimiliki para kera seperti layaknya manusia sedangkan para manusia populasinya sedikit dan ironisnya hidup layaknya hewan liar. Secara substansi film yang disutradarai Wes Ball ini menjadi studi antropologi soal kebudayaan (kera) yang masih berkembang, hidup berkelompok dan memiliki klan, punya tradisi dan budaya layaknya manusia yang bahkan mampu menjinakkan elang. Konfliknya tetap menarik, utamanya Noa yang melakukan perjalanan mencari klannya yang ditawan oleh pasukan Proximus Caesar, ditemani Raka seekor orang utan dan seorang gadis manusia bernama Mae dengan berbagai rintangan berbahaya didepan mereka. Suntikan visualnya juga indah dan megah mampu menciptakan dunia post apocalypse dengan memperlihatkan berbagai reruntuhan peradaban manusia modern yang kala itu sudah ditumbuhi hutan lebat seperti seriesnya The Last of Us. Bagi saya, film ini memang layak membuka gerbang trilogi baru dengan konflik yang punya potensi cerita dan konflik yang lebih luas untuk digali, meski secara garis besar penyajian kisahnya belum mendekati ekspetasi saya seperti "War" dan "Dawn" yang lebih dark dan deep.

Alih-alih bermain di ranah visual, lewat film ini Jonathan Glazer menampilkan kengerian holocaust nazi dengan cara tak biasa dan pengalaman perspektif yang berbeda. Sebuah film yang mengganggu lewat indra dan perasaan penonton, dibalut dengan cerita bak slice of life tentang kegiatan sehari2 yang terjadi pada keluarga Rudolf Hoess (salah satu komandan di kamp konsentrasi Auschwitz) yang hidup bahagia bersama istri dan anak2nya dengan rumah yang nyaman dan kebun hijau yang cantik, meski disisi lain tembok menganga dengan bisingnya suara kamp konsentrasi yang pas bersebelahan dengan suara2 teriakan manusia yang dibantai sayup2 terdengar diantara deruman suara api pembakaran. Ya, ini emang bukan film yang bisa dinikmati semua orang, Glazer sekedar menantang penonton untuk merasakan kengerian lewat audio yang bertentangan dengan visualnya, meski dari segi ceritanya sendiri terkesan biasa dan tak ada sesuatu yang bisa diangkat kecuali konflik remeh Rudolf yang ingin dimutasi pekerjaannya. Selain itu ya, ini hanya bentuk dari seni provokingnya Glazer yang ingin tampil beda dan eksperimental.

Sudah lama ga menonton film yang ceritanya seepik ini kecuali saya dapatkan di film2 sci-fi klasik, sesuai ekspetasi film ini melebihi prekuelnya, meski narasi ceritanya sama dengan durasi yang sama panjangnya. Saya merasa tenggelam dalam ceritanya, dunianya, konfliknya, ditambah visualisasi yang megah dan scoring gubahan Hans Zimmer emang ga perlu diragukan lagi ngebuat atmosfer film ini lebih kuat dan mencengkram emosi. Semua scene terasa indah, meski kita lebih banyak memperhatikan gurun gersang dengan tone lebih gritty dan dark, tapi saya bener2 merasa ga ngantuk, bahkan durasinya yang panjang kayak terasa sebentar. Kekurangan? Saya bingung apa yg kurang dari film ini semua aspek bener2 dibikin maksimal, Good job Denis Villeneuve, it's masterpiece!

Trailernya saja sudah menggambarkan betapa absurdnya film ini dibuat, saya rasa Adam Wingard bikin film ini dalam keadaan nyimeng. Dari awal film ini saja terkesan ga ada keseriusan untuk membangun cerita dan emang sengaja dibuat hanya untuk bersenang2, betapa ngasal dan dangkalnya pengembangan plot penuh kejutan yang tidak normal, bahkan sebab akibat yang terjadi di film ini sangat dipaksakan ada yang penting terlihat keren, seperti armor di tangan Kong dan godzilla bercahaya pink. Film ini ditulis oleh tiga orang, bahkan seperti ditulis oleh penulis anak-anak, dengan paparan jokes2 cringe sepanjang film. Seperti biasa, PoV film ini lebih banyak ke sisi para monsternya, terlebih si Kong, sehingga seolah2 film titan monster ini lebih berperasaan dan manusiawi, layaknya sedang menonton Planet of the Apes versi kolosal. Sedangkan, para manusia menghasilkan plot yang sangat tipis, meski beberapa kali memancing kisah ibu dan anak yang kurang intim. Tapi, inti film ini jangan pikirkan ceritanya yang busuk, tapi bersenang2lah dengan CGI, aksi gedebak gedebuknya Kong dan Godzilla yang megah, serta keliaran dan adegan over the top Wingard yang untungnya masih terasa menyenangkan di film ini.

Abigail ini sebetulnya film vampir yang temanya sudah usang, dikembangkan lagi lewat suntikan ala2 film "Ready or Not" antara horror brutal, darah meledak, klaustrofobia dan komedi konyol. Sejak awal film yang disutradarai Matt Bettinelli-Olpin dan Tyler Gillett ini sudah jelas visinya bakal kemana, tapi untuk satu ini sedikit lebih kacau dari biasanya. Abigail tentu saja mempertontonkan banyak kebodohan demi memancing lebih banyak komedi ketimbang menjadi cerita sok pintar seolah disindir dari sekuens awal cerita. Itu memang berhasil, saya selalu tertawa entah dari berbagai macam sifat karakter yg sok pintar maupun gimmick tarian vampir balerina. Tapi, seiring berjalannya waktu Abigail tampak terperangkap demi ingin bersenang2 sepanjang film antara mangsa dan pemburu melalui variasi instrumen komedinya, sehingga semakin cerita berjalan ia semakin bertele2 dan tenggelam dalam lumpur kenistaan. Sampai akhir mencapai klimaks film ini kehilangan arah dan terkesan dipaksakan, bahkan menciptakan rentetan plot twist yang tidak jelas dan kurang beralasan kuat. Sayangnya juga, gore dan darah yang dihadirkan tidak semenarik seperti halnya saya menonton Evil Dead Rise, meski ledakan berdarah masih jadi mainan Olpin dan Gillet tapi masih kurang.

Film ini menceritakan single mom 40 Solène (Anne Hathaway) yang mengencani personil boyband Hayes Campbell (Nicholas Galitzine) yang umurnya masih 24 tahun. Film yang diadaptasi dari novel Robinne Lee dan disutradarai Michael Showalter ini jadi salah satu romcom favorit saya tahun ini, gimana 2 insan dimabuk cinta struggling dengan perbedaan umur yang cukup jauh tapi bisa dibikin semanis dan selucu ini. Dua karakter utamanya juga ngebangun chemistry yang kuat, meski Anne dan Galitzine punya latar belakang yg bertolak belakang bahkan umur, tapi gimana cara mereka bertemu, gimana si Hayes merayu dan pdkt sama Solène, sampai akhirnya tumbuh perasaan satu sama lain, bahkan kayak ga ada gap yang kerasa apalagi Anne yang notabene udah 40an tapi kayak melihat dia sebagai catwoman 10 tahun lalu, meski lebih dewasa tapi auranya bisa ngimbangin Galitzine yang lebih muda, glamor dan tipikal remaja badboy tampan yang digandrungi gadis2 muda, tapi disatu sisi sosoknya berubah ketika dihadapan Anne saat ia tampil lebih kekanakan, canggung, tapi juga terlihat sangat tulus lewat penggambaran ekspresi wajahnya. Cerita film ini juga bukan sekedar strugglingnya 2 cinta beda umur, tapi juga soal popularitas Hayes yang lagi meroket yang juga jadi obstacle dan problem besar hubungan mereka yang ga jadi hanya satu sisi, tapi juga mempengaruhi berbagai sisi kehidupan mereka berdua. Kisahnya ga klise, saya yang berumur 30an ini merasakan dunia antara romansa remaja dan dewasa, tapi serasa melebur jadi satu. Meski dibilang endingnya berbeda dari kisah novel, pemilihan ending 'happily ever after' ini jadi kesimpulan yang memuaskan bagi saya.