Sebagai seorang anak pertama, IAN (Iqbaal Ramadhan) berjuang meraih mimpinya bersama para sahabatnya dan berusaha keras memenuhi semua ekspektasi yang ia bangun hingga membuatnya jauh dari keluarga. Namun, ketika sebuah peristiwa besar membuat Ian kehilangan orang tuanya secara tiba-tiba, Ian berusaha selalu kuat dan mengubur semua perasaannya hingga ia mati rasa.
Sebenarnya PERAYAAN MATI RASA ini konfliknya apaan dah? Ngerti kalo film ini berusaha bercerita tentang beban besar menjadi anak pertama dalam sebuah keluarga(?). Tapi bangunan plot dan karakternya malah gak pernah terasa ngarah ke sana.
Yang ada cuma karakter “red flag” bernama Ian Antono - Yes, old enough to catch *that* reference - yang ngerasa dia orang paling menderita sedunia padahal dia justru yang paling tidak peka terhadap orang-orang di sekitarnya.
Ngerasa diabaikan dan ayahnya kurang perhatian. Padahal ayahnya kerja keras menantang maut dan terpaksa ninggalin keluarganya berhari-hari jadi pelaut demi hidup anak dan istrinya yang (di film digambarin) nyaman. Orangtuanya juga mendukung banget dia jadi musisi (bersama band-nya yang main musik dengan cita-cita direkrut “major label” dan jadi terkenal). Ngerasa diri sebagai si sulung yang lebih sering dianaktirikan dibanding dengan adiknya. Padahal lebih karena iri adiknya lebih sukses dari dia.
Gak ada dasar konflik yang kuat. Akhirnya dihadirkan “konflik kematian” guna memicu konflik beruntun yang semua resolusinya ditahan hingga paruh ketiga film yang, tentu saja, diniatkan untuk diisi dengan adu galau, adu teriak, adu marah, adu nangis dengan balutan “dialog puitis” - Ya khas film-film yang disutradarai/diproduseri/ditulis sama Umay Shahab selama ini-lah. Blum lagi dengan durasi pengisahan yang, lagi-lagi, kepanjangan. Cuma bisa diisi dengan pameran kameo yang seliweran dari adegan satu ke adegan lain yang kurang begitu berpengaruh ke plot cerita utama.
Eksplorasi (eksploitasi?) rasa duka yang lemah.