Joker: Folie a Deux menceritakan tentang Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) yang ditahan di Arkham sambil menunggu persidangan atas kejahatannya sebagai Joker. Sambil berjuang dengan identitas gandanya, Arthur tidak hanya menemukan cinta sejati (Lady Gaga), tetapi juga menemukan musik yang selalu ada di dalam dirinya.
Bagus Cuy.
Sebagai disclaimer, saya pribadi adalah orang yang meletakkan urutan film musikal di deretan paling bawah kategori film favorit saya. Awalnya, ketika tau bahwa Joker: Folie a Deux digarap, saya hanya mikir “Todd Phillips, don’t push your luck too much, Joker 1 udah jadi masterpiece yang ga perlu ada sequel, apalagi pake bawa-bawa elemen musikal—walaupun di satu sisi cukup berekspektasi juga dengan cast department yang promising: “Lady Gaga: Harley Quinn”.
Seiring act 1 yang dragging berjalan, saya menguap beberapa kali, “yang saya mau itu nonton Joker, bukan Arthur Fleck si lame yang kenapa dia harus muncul lagi? Kenapa premis yang ada di Joker 1 itu perlu diulang lagi seakan meng-cancel ending dari Joker 1 yang epic? Seketika saya sadar, bahwa installment Joker Joaquin Phoenix ini memang dari awal seakan menempatkan Arthur Fleck sebagai villain, dan Joker sebagai Hero. Yap, disitu lah genre psychological thrillernya. Bukan genre supervillain movie yang kebanyakan orang expect.
Sisi musikal sakit jiwa yang ditawarkan di film ini cukup bisa mengantarkan keterbuaian kita—or at least saya, terhadap charm dari sisi gelap kita sendiri, yang segitunya mengidamkan kemunculan Joker. Dan elemen musikal ini memang secara relevan Joker banget dengan segudang ke-banci tampil-annya dia! Sayapun teringat momen di mana kita begitu merasakan pengalaman orgasmik ketika Joker di film pertama keluar dari Arthur Fleck, dengan showmanshipnya dia, dengan karismanya yang begitu inspiratif untuk warga Gotham.
Dan ketika diending sequel Joker ini, saya jadi menyimpulkan. Todd Phillips terlalu tidak bertanggungjawab di film Joker pertama, seakan mengarahkan kita untuk mengidealisasi “shadow” kita, sampai viral ada posting cewek megang tulisan "Orang Jahat adalah orang baik yang tersakiti". Saya jadi sering mikir, “ini film yang ditujukan untuk mendukung agenda elit global atau gimana?” Karena messagenya terlalu gelap untuk jadi film blockbuster. dan di film kedua, message yang (ternyata) mengandung pesan moral itu cukup tersampaikan dengan baik. Joker pertama terlalu amoral untuk TIDAK ditutup dengan Joker: Folie A Deux.
Apakah film ini terlalu idealis untuk Todd Phillips? Apakah Todd Phillips terlalu kepedean untuk bikin film yang terkesan eksperimental? Kalau buat saya pribadi yang sebetulnya bukan “si paling moralis”, ini satu bentuk karya seni yang bertanggungjawab. Ga hanya ngasih makan ego dan sisi gelap kita dan ngambil keuntungan dari situ, tapi justru menghantam keras sisi busuk kita sebagai manusia, walaupun rela harus mengecewakan banyak orang.