Dihantui oleh mimpi buruk berulang yang penuh kekerasan, mahasiswi bernama Stefanie pulang ke rumah untuk mencari satu-satunya orang yang mungkin bisa menghentikan siklus itu dan menyelamatkan keluarganya dari kematian mengerikan yang tak terelakkan.
Berdurasi paling lama dari seri-seri sebelumnya, Final Destination Bloodlines menawarkan pendekatan yang lebih dalam pada karakternya, punya humor, sembari tetap pintar menjaga ritme kengerian, serta mencoba menjabar mitologi franchise ini secara lebih luas. Namun, sayang, meski keseluruhan film ini layaknya wahana penuh cipratan darah yang menyenangkan, opening-nya terasa terlalu futuristik dan janggal—lantai kaca di gedung tinggi baru dipakai di tahun 90-an. Hal ini sedikit-banyak mempengaruhi pengalaman menonton, mengingat premonition dalam Final Destination begitu krusial sebagai pondasi bercerita. Lalu, apakah Final Destination Bloodlines benar-benar menjelaskan keseluruhan mitologi franchise-nya? Sayangnya, tidak.