Alie (Anantya Kirana), bungsu dari lima bersaudara dan satu-satunya anak perempuan, yang seharusnya disayangi, ternyata menerima hukuman, atas kematian ibu mereka. Sudah tak terhitung berapa luka di tubuh Alie karena perundungan yang dilakukan ayah dan saudara-saudaranya. Luka itu terkadang cepat kering tapi bukan sembuh. Di sudut hati Alie, ada luka yang karena cacian, makian dari ayah dan saudaranya. Tapi sungguh, Alie tak bisa membenci mereka. Terkadang kekecewaan karena kehilangan sesuatu yang di cintai, seseorang akan melukai pihak lain untuk menutupi lukanya. Alie hanya sedikit meminta belas kasihan keluarganya untuk di terima.
Rumah untuk Alie terasa outdated alias kuno, karena film dengan tema cerita anak yg disiksa atau dianiaya keluarganya sendiri adalah tema yg kerap muncul di film2 tahun 70 atau 80-an (Ratapan Anak Tiri, Arie Hanggara). Wajar, karena pada masa itu value yg dipromosikan adalah anak sebagai harta keluarga. Sementara itu, value keluarga saat ini adalah membuat anak-anak Gen Z menjadi tangguh dalam menghadapi tantangan hidup (Home Sweet Loan, 1 Kakak 7 Ponakan).
Ceritanya sendiri berkutat pada pedihnya hidup Alie setelah ia menjadi penyebab meninggalnya ibunya dalam kecelakaan mobil. Ayah dan ketiga kakak laki2nya begitu membenci Alie karena hal ini. Hanya ada satu kakaknya yg masih membelanya, yaitu si Nata. Sehingga, story development dalam film ini nyaris tidak ada, sepanjang film penonton disuguhi adegan pembullyan demi pembullyan yg diterima oleh Alie dari keluarganya dan teman sekolahnya.
Spektrum psikologis manusia dalam merespon kedukaan memang bisa berbeda-beda. Dalam hal ini, ayah dan ketiga kakak alie berkutat dalam kedukaan itu, tidak mencari pertolongan secara psikologis, dan malah menjadi violent kepada Alie, ujung2nya ya pembullyan. Kalau saja setting film ini terjadi di tahun 70-an, sikap dan respon atas kedukaan yg seperti itu bisa jadi masuk akal karena pada masa itu isu kesehatan mental belum populer.
Namun, karena settingnya adalah di masa kini, yg mana resource atas kesehatan mental ada dimana2 dan sangat gampang untuk diakses (di medsos, buku, internet, bahkan sekarang ini banyak psikolog atau psikater dgn tarif terjangkau), apalagi Alie dan keluarga berasal dari kalangan menengah ke atas (tinggal di komplek dan pergi ke sekolah bawa mobil sendiri), dapat dipastikan literasi dan kesadaran mereka akan kesehatan mental harusnya di atas rata2. Apalagi anak2 di dalam film ini dari kalangan Gen Z yg sangat peduli akan kesehatan mental. Mereka bukan dari kalangan bawah yg harus berkutat memenuhi kebutuhan hidup sehingga tidak sempat utk memikirkan kesehatan mental. Sehingga keputusan mereka untuk berkutat dalam kedukaan lalu menjadi violent kepada Alie cukup membuat kening berkernyit.
Satu-satunya hal yg membuat film ini jadi make-sense adalah akting sendu Anantya Rezky Kirana sebagai Alie yg konsisten. Walau sebenarnya masih terasa aneh karena tampilan Anantya yg termasuk kecil (seperti anak kelas 6 SD atau SMP) namun ternyata Alie di dalam film ini dikisahkan duduk di bangku SMA. Jadi kayak gak singkron. namun Tanpa Anantya, film ini jadi maksa dan gak masuk akal sama sekali.