Cerita dengan latar belakang tahun 1920, pada masa itu Stovia university era hindia Belanda melahirkan lulusan kedokteran pribumi. Cerita di awali oleh dokter muda lulusan stovia bernama Giandra (Aditya Zoni) membaca koran javasche courant tentang gadis di desa karuhun yang di pasung, pada masa itu pemasungan bagian dari cara penyembuhan penyakit kejiwaan. Pengobatan secara mistik yang di tangani seorang dukun ini sangat bertentangan dengan Giandra sebagai seorang dokter. Gadis yang di pasung ini bernama Layla (Aisha Kastolan) dan berita di koran itu di tulis oleh Rikke (Aurelia Lourdes) seorang jurnalis keturunan mix Belanda dan pribumi. Giandra memutuskan menemui Layla di desa Karuhun, desa yang jauh dari kota untuk mencapai tujuan desa Karuhun Giandra harus naik pedati (kendaraan yang di tarik oleh kerbau). Sesampai di desa Karuhun Giandra di sambut oleh Rikke karena Rikke juga penasaran dengan kedatangan Giandra ke pelosok desa di kaki gunung tersebut. Rikke cuma menyampaikan tiga suku kata pada Giandra yaitu Kultur, Mistik, Tahayul. Ini yang jadi perjalanan Giandra bertempur antara science atau ilmu pengetahuan yang dia pelajari dengan kultur dan kepercayaan masyarakat secara turun temurun.
Film ini tidak punya esensi apapun. Story development tidak ada. Tokoh yg patut dirasani oleh penonton, tidak ada (nini dan saidah gak apes2 amat, cuman ditakut2in doang. Si dokter dan jurnalis ga guna sama sekali, dan kalau mereka dihilangkan, cerita masih bisa jalan. Si gadis pasung ga mungkin dikasihani karena dia setannya).
Aditya Zoni memberikan penampilan akting yang sangat jelek dalam film horor 10 tahun terakhir. Berakting bukan cuma menempatkan emosi yang tepat pada setiap dialog. Tapi juga memantaskan peran sesuai background tokoh. Kalau tokohnya adalah kaum priyayi di awal abad 20, maka jangan bertingkah laku dan berbicara layaknya org dari tahun 2025 yg naik mesin waktu doraemon ke awal tahun 1920-an. Sudah gitu sok2an mau menyembuhkan gadis pasung pake ilmu kedokteran entah yang mana, gitu pun hanya pernah sekali saja menyuntik si gadis pasung… kerjaannya sehari2 keliling2 hutan sambil bawa tas dokter2annya… saat gagal mendobrak pintu, hal pertama yang ia pegang adalah… tas dokter2annya…
Lalu ada tokoh rikke yang sama tidak bergunanya, sepanjang film dialognya hanya teriak-teriak memanggil anjingnya: “molly… molly”… padahal si molly ada di dekatnya… lalu mengajar anak2 desa membaca di malam hari, dengan cara membacakan berita di koran… wtf.
Dan film ini ngikutin tren horor lokal belakangan ini, yaitu semakin gory dan semakin banyak ngucur darah palsu. Boring.
Overall, film ini menambah daftar film horor jelek. .