Putro Purnama (Marthino Lio) kembali ke desanya setelah patah arang mengejar harapan dan cita-citanya di kota. Bertekad untuk memulai hidup baru dan bermimpi untuk merevitalisasi tanah keluarganya melalui metode pertanian alami. Namun, rencananya dengan cepat menemui perlawanan ketika saingan lama keluarganya menantangnya dalam kompetisi pertanian bergengsi. Pertarungan ini dapat menentukan siapa yang akan memperoleh pengaruh atas penduduk desa. Saat Putro berjuang untuk membuktikan nilai pertanian alami yang berkelanjutan, perjalanannya menjadi lebih rumit ketika ia jatuh cinta pada Ratih (Givina), pemilik toko pupuk kimia dan pestisida desa, putri dari saingan keluarganya. Terjebak antara cita-cita dan perasaannya, Putro berjuang untuk membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat sambil menghadapi konflik pribadi dan sosial. Tekadnya untuk memperbaiki kehidupan orang-orang yang dicintainya diuji di setiap kesempatan, memaksanya untuk menghadapi tantangan yang lebih dalam dari mimpinya.
Film edukasi adalah salah satu jenis film yg cukup sulit utk dibuat, karena ada dua risiko kegagalan yg cukup besar, yaitu risiko cerita yg menggurui dan risiko film boring.
Berita baiknya, Seribu Bayang Purnama tidak terjatuh dalam dua risiko itu. Film ini tidak menggurui dan tidak boring, namun sayangnya tidak exciting pula. Arah perkembangan cerita yg dipilih, yaitu menggunakan tokoh antagonis Dodit utk menciptakan konflik, terasa sangat jadul spt film2 edukasi lawas di masa TVRI era order baru. Kalau saja storyline dielaborasi sedemikian rupa sehingga bisa meng-capture keindahan suasana pedesaan dan kearifan lokal masyarakatnya dgn porsi yg lebih besar dari yg ditampilkan di film ini, maka filmnya akan lebih menarik untuk ditonton.
Yg juga cukup aneh adalah, penggunaan pestisida alami yg merupakan pesan moral utama film ini tapi dituturkan berulang2 tanpa dielaborasi dalam adegan2 yg menggugah penonton, dan malah paruh kedua film lebih fokus pada rencana jahat keluarga Dodit. Hal inilah yg membuat film ini “jatuh”.
Nugie dan Aksara Dena tampil kuat dan berhasil menggerakan pace cerita, sebaliknya Marthino Lio tampil buruk akibat naskah yg memberikan perkembangan karakter yg sangat lemah padanya padahal ia adalah tokoh utama.
Overall, Seribu Bayang Purnama is half good.