Sebagai prekuel langsung dari franchise cult horor legendaris, The First Omen berhasil menampilkan sajian horor yang cukup solid, terasa orisinil dengan tetap coba berpegang pada elemen akarnya, atmospheric horor.
The First Omen hadir tanpa menggunakan formula jumpscare berlebihan atau penampakan sosok menyeramkan yang membuat penonton paranoid berada di tempat gelap. Penggunaan skoring dengan efek suara rapalan doa/mantra secara intens sangat berhasil menimbulkan perasaan gelisah di sepanjang film. Ditambah unsur eksplisit, gore yang tidak begitu banyak namun bisa menghadirkan rasa ngilu, ngeri hingga mungkin trauma, terlebih bagi ibu hamil.
Warning: ada beberapa claustrophobic dan suicide scene yang bisa saja membangkitkan phobia atau perasaan tidak nyaman.
Walau beberapa plotnya masih terbilang klise, namun dengan premis yang vokal bicara seputar kritik budaya sekuler hingga penyalahgunaan dogma agama, membuat The First Omen memiliki tema kisah yang kuat dan relateable dengan isu yang bahkan masih dirasakan hingga saat ini.
Dari sisi teknis, Nell Tiger Free tampil secara memukau memainkan emosinya sebagai Margaret Daino, terlebih di penampilan klimaksnya. Pun dengan Sonia Braga yang, dengan screen time tidak begitu banyak, namun maksimal menampilkan aura sinister-nya sebagai Suster Silva. Sinematografinya juga patut diapresiasi karena mampu meng-capture momen-momen simbolik, emosional, hingga lanskap indah namun mencekam kota Roma.
Bukan tak mungkin kelak di masa datang, The First Omen akan mampu menyamai status sang sekuel, The Omen (1976), yakni sebagai cult horor, namun di era post modern.