Saya cukup bosan dengan tontonan horror religi Indonesia akhir-akhir ini yang terasa monoton, konsepnya gitu-gitu aja, bahkan yang fatal unsur religinya terkesan dianaktirikan. Efeknya, usai menonton bukannya merasa dicerahkan namun sebaliknya, di-cu-ra-ngi. Karena yang dipertontonkan seringnya tidak sesuai dengan ajaran agama yang dimaksud.
Untungnya, pengalaman menonton kurang menyenangkan tersebut tidak saya rasakan saat menyaksikan Siksa Kubur. Kental akan gaya khas Joko Anwar dalam hal penuturan cerita, saya pikir Siksa Kubur punya peluang besar untuk membuka ruang diskusi dan berteori. Tapi yang terpenting, saya merasa film ini berhasil mengajak saya ikut merasakan perjalanan spiritual yang dialami Sita.
Tetapi, dengan sederet kebolehan yang berhasil ditampilkan, bukan berarti Siksa Kubur nihil akan kekurangan. Bagi saya, ada sedikit polesan CGI di klimaks yang masih terasa kurang mulus, peran jumpscare di paruh awal juga terasa kurang, seperti ditahan-tahan sehingga momen shocking ala Pengabdi Setan yang saya harapkan urung saya rasakan. Untungnya, hal tersebut tidak terjadi berulang. Joko Anwar kembali membuktikan kepiawaiannya dalam membangun atmosfer horror mencekam lewat adegan mesin cuci yang membuat jantung saya seperti dihantam benda keras dengan kencang, nyeri sekaligus sesak. Tidak sampai disitu, kegilaan semakin memuncak dan kesadisan semakin brutal di klimaks yang luar biasa mencengkram. Terlebih didukung oleh sound design yang mumpuni dalam menciptakan perasaan tidak nyaman. ISTIMEWA. Istimewanya, Siksa Kubur menjadi bukti bahwa masih ada sineas Indonesia yang mampu membuat horror religi berkelas dan berhasil meninggalkan bekas.