Kereta Berdarah berangkat dengan naskah yang lebih masuk akal dibanding horor kebanyakan. Hal ini memungkinkan Rizal Mantovani tidak sebatas menyuguhkan keahlian dalam mengolah gambar cantik dan penampakan dedemit, tetapi memberi nyawa dalam bercerita yang sebelum ini hasilnya kerap diragukan oleh sebagian orang--aku perlu berterima kasih secara khusus kepada sang penulis naskah Erwanto Alphadullah. Chemistry duo Hana Malasan dan Zara Leola yang believable membantu Rizal Mantovani mewujudkan visinya, ditambah karakter-karakter pendukung lain di dalam kereta. Suka bagaimana teror perlahan dibangun di setiap kejadian gerbong dan diekspos cukup variatif, apalagi ketika konflik merebak dan turut melibatkan kengerian ulah para manusia. Ending-nya memukau dengan arahan khas Rizal Mantovani, melebihi ekspektasi bahkan setelah berandai-andai liar sesaat melihat "petunjuk" di salah satu kursi kereta. Kereta Berdarah adalah sebuah perjalanan kelas VIP yang memuaskan.

Dipenuhi sudut-sudut gambar yang berpresisi dan musik latar membuat Jurnal Risa by Risa Saraswati tidak terasa autentik sebagai film found-footage dan kurang nuansa seram. Eksekusi babak ketiganya ada peningkatan, tetapi belum memuaskan.

Twisters menawarkan penampilan apik dari Daisy Edgar-Jones, gambar dan CGI yang memukau, humor dan fun, tetapi minimnya ketegangan serta perjalanan trauma karakter Kate Carter yang tidak kuat menghalangi Twisters menerjang dengan dahsyat.

Saat Menghadap Tuhan adalah pelajaran penting tentang kekerasan terhadap anak. Mengangkat kasus bullying dan KDRT yang berujung salah Rudi Soedjarwo menyentil berbagai pihak mulai dari keluarga hingga para guru untuk lebih peduli tanpa pernah menganggap remeh tindakan kekerasan sekecil apapun. Membawa nama aktor-aktor baru tidak membuat Saat Menghadap Tuhan kewalahan. Selain memberi kesegaran baru, para pemainnya pun berhasil menggambarkan kepedihan terpendam yang dipikul setiap karakternya sampai-sampai setiap kali melihat mereka tersenyum, tertawa, berangkulan, jatuh cinta, kita akan berkaca-kaca menyayangkan mengapa mereka menanggung kejadian tidak mengenakkan sendirian. Saat Menghadap Tuhan akan terasa lebih powerful seandainya tidak terlalu lama mengeksekusi adegan-adegannya.

Permainan saksofon Rafi Sudirman menghantui.

Film thriller dengan pemeran utama anak yang ditawarkan Monster terasa kurang hidup dan kurang menggigit akibat konsep tanpa-dialog yang terkesan dipaksakan. Naskahnya pun terkadang pintar, terkadang terjebak pada keputusan-keputusan yang dipertanyakan. Beruntung Anantya Rezky Kirana konsisten dalam menghidupkan peran.

Meski perlu menambah durasi 10-15 menit lagi agar ambisinya yang besar lebih mulus diceritakan, Malam Pencabut Nyawa berhasil membentang misteri alam mimpi yang menghipnotis dan tak biasa. Visual apik, akting para pemain mumpuni. Pertarungan babak akhirnya adalah penutup mimpi yang diidam-idamkan.