Entah kenapa film ini terlalu tipikal. Hingga sangat membosankan untuk diikuti. Padahal isu yang diangkat sangat relevan.

Yang paling gue suka dari film ini adalah gimana ngolah premis yang biasa, atau bahkan bisa dibilang premis umum, namun terlihat menarik dan terasa sebagai sesuatu yang baru. FIlm ini punya storytelling yang kuat. Jujur aja, emang sih ini tipikal drama slow pace, yang bikin ngantuk kalo gak engage di awal. Tapi buat gue, hubungan karakter yang terjalin antara nenek dan cucu yang terasa mengalir, jujur dan natural, membuat gue engaged selama film berlangsung.

Apalagi bumbu komedi yang disisipkan dalam adegan atau bahkan dialog, sangat membantu penonton untuk tetap terikat dengan film ini. Secara karakter dan plot, cukup relate dengan keluarga asia, meskipun bukan orang thailand, tapi kurang lebih tradisi dan plot yang dialami karakter cukup relate dengan kita. Untuk kesekian kalinya, GDH selalu mampu menghadirkan tontonan yang berasal dari ide sederhana namun dirasa penuh makna.

SAKIT! Idenya bagus banget. Bener-bener dateng dari what if yang di luar nurul arifin! Yang bikin film ini terasa sempurna buat gw, adalah nyeritain dari sudut pandang wartawan perang! Jadi pendekatan documentarynya tuh kerasa banget. Jadi seakan-akan kita sebagai penonton ikut lari-larian bareng Lee, Jesse dan Joel. Jelas banget film ini pake metode karakter driven! yang untungnya dikemas dengan sangat luar biasa apik! Entah berapa kali kata *njing keluar dari mulut gua, selama sekitar 2 jam nonton. Kagum banget ama cara bertururnya film ini!

Dan yang paling nggak bisa gw lupain adalah, penampilan Jesse Plemons! cuma 1 scene , tapi gila sih dia! Buat gue yang udah nonton beberapa filmnya dia.. bener-bener kaget Jesse Plemons bisa sesangar itu! Edan!

PUTRI MARINO BAGUS BANGET DI SINI! GILA.

Overall sih ya romance standar aja. Gak ada rasa baru juga yang ditawarin. Secara storytelling pacingnya standar. gak cepet, tapi gak lambar-lambat banget juga. Tapi yang bikin gue geleng-geleng kepala adalah penampilan putri marino. Gua sangat enjoy ngeliat Putri memainkan karakter Raya, penuh dengan ekspresi-ekspresi kecil yang begitu kuat merepresentasikan kompleksitas internalnya.

Jujur aja yang agak terganggu sih dengan makeup. Untuk adegan-adegan baru bangun tidur, semacem sarapan. Itu muka menor-menor banget. Ya minor aja sih. Sisanya oke. Cukup enjoy nontonnya!

Untuk kesekian kalinya Joko berhasil bikin experience nonton film yang begitu indah. Beyond! Diatas level film-film lokal jajaran atas bahkan. Siksa Kubur mampu merasuki nurani, kecemasan, ketakutan level terdalam yang tentunya bukan berasal dari alam gaibnya universe setan atau hantu. Tapi alam gaib yang lagi-lagi beyond! Disini Joko juga kerap ngasih gambaran-gambaran pertanyaan tentang dogma agama, yang kerapkali berbenturan sama akal sehat. Disitu lah ranah-ranah yang sejak dulu, jadi ciri khasnya.

Siksa Kubur adalah film yang (bisa jadi) belum tentu dapat dinikmati banyak orang sampai layer terdalam. Tapi gua yakin, sebagai penonton awam. Level "pemaknaan rasa" sinema-nya juga bisa merasuki level terluar. Minimal, sesuai taglinenya "Anda Akan Percaya".

Bang chubot (chubby botag) yang satu itu emang paling bisyaaaaa ~~~~~~

Sebagai sebuah prequel dari film horror masterpiece, the first omen berhasil menyuguhkan cerita dengan layer yang cukup lengkap dan menjawab beberapa pertanyaan yang belum di jawab dalam film the omen.

Dari segi visual, The first omen sangat memanjakan mata. Experience nontonya sih, berasa nonton film/seluloid. tp gak tau ya sutingnya pake seluloid, atau digital. karena experience nonton filmnya dapet sih. Dan shot-shotnya emang berkelas sih!