Kayak diajak balik ke tahun 2008, waktu James Watkins bikin film ultra bajingan judulnya "Eden Lake". #SpeakNoEvil pun adalah thriller anjing yang wajib dianjing anjingin, dari "diem lo, anjing!" ke si Agnes, sampe anjing bangsat goblok ke si McAvoy. Pokoknya film anjing!

Film horor BAGUS. B= Burik jumpscarenya, A= Ampas ceritanya, G= Goblok sound efeknya, U= Usang horornya, S= Sakit kepala selesai nontonnya. Satu bintang untuk setan mirip mistique gosong.

Fede Alvarez membawa formula mematikan yang pernah dipakainya di remake "Evil Dead" pada 2013 silam. Enggak hanya sinting dalam urusan meramu adegan-adegan beramoma horor yang ngilu sekaligus seru, tapi juga caranya memperlakukan tokoh-tokoh dalam filmnya. Sebelum kita nantinya diseret menuju stasiun luar angkasa yang jahanam, Fede lebih dulu bakal mengajak kita untuk salim dengan satu-persatu karakter, supaya penonton kenal dan syukur-syukur kelak akan peduli dengan nasib mereka, terutama hubungan "saudara" antaran Cailee Spaeny dan David Jonsson. Sebelum sesak nafas, Fede Alvarez dengan baik hati kasih kesempatan kita untuk nyetok cukup oksigen. Tapi ujungnya tetap saja kehabisan nafas diajak lari-larian sama Xeno dan Facehugger sialan.

Selain bikin kita akrab sama kru yang bernasib sial, gue paling suka bagaimana di awal film, Fede Alvarez pamer tipis-tipis desain produksi yang sangat apik. Bukan sekedar bangunan dan pesawat, tetapi juga "Alien Romulus" itu memperhatikan banget detil-detil terkecil, termasuk layar komputer. Setelah penonton diberi asupan oksigen yang cukup, sambil jalan-jalan di planet tanpa sinar matahari yang adalah koloni tambang Weyland Yutani, barulah Fede dengan gaya no mercy ciri khasnya akan mengantarkan kita untuk bertemu ngerinya jari-jari facehugger dan gigi penuh air liur si Xenomorph. Memaksimalkan segala unsur, mulai dari efek praktikal hingga ruang sempit, Fede tahu betul gimana bikin mental penonton nantinya ngos-ngosan. Sebuah horror survival yang bangsat!

Dibanding dengan "Waktu Maghrib", Sidharta Tata harus diakui semakin membaik dalam memproses sebuah adegan horor (btw, gue belom nonton Malam Pencabut Nyawa). Tidak lagi mau bergantung musik skoring yang dang deng dong berisik, tapi sebaliknya memanfaatkan atmosfer sebagai penyokong adegan seramnya supaya terlihat lebih efektif dan menarik. Treatment horornya untuk membingkai jumpscare serta penampakan pun bisa dibilang tak monoton, dari memanfaatkan kesunyian hingga gerak kamera lamban, dari mengandalkan apiknya akting para pemeran sampai suara-suara di sekitar yang ampuh bikin scene penampakan makin terasa mencekam.

Meski "Sakaratul Maut" enggak nangkring di daftar 10 besar sinema horor lokal terbaik, tapi usaha film yang skenarionya dikeroyok oleh trio yang menulis serial horor "Teluh Darah" ini harus tetap diapresiasi, karena sudah (mau dan niat) memberikan tontonon horor yang lumayan menyenangkan, tak melelahkan, dan yang paling penting tidak bikin gue ngantuk seperti kebanyakan horor lokal yang sudah lebih dulu tayang, termasuk "Jurnal Risa" dan juga "Pusaka" kemarin. Sidharta Tata mau belajar dari kesalahannya, dan niat itu terlihat di beberapa adegan horornya di "Sakaratul Maut", terutama di momen favorit gue: adegan pabrik genteng yang menghadirkan penampakan entitas gaib dengan aksi headbanging ultra ektrim hahaha.

Sebagai orang yang sudah "muak" dengan film superhero yang gitu-gitu lagi, film ini kayak ngajak gue kembali ke era dimana film pahlawan super itu tak banyak omong kosong dan murni hiburan ringan menyenangkan, era ketika belum ada beban membangun "phase" apalagi sinematik universe. Ada nuansa "bodo amat" seperti yang dilakukan film-film jagoan tahun 2000-an. Ada keinginan untuk tak saja mengobral CGI spektakuler tetapi juga jajakan jalinan cerita yang "power"-nya itu di karakter. "Deadpool dan Wolverine" bisa dibilang sudah menyelamatkan MCU yang sekarang tampak membosankan, membuat genre superhero itu kembali great again, tentu saja (masih) dapat bantuan dari beberapa cameo dan nostalgia.

Rizal tahun ini sudah merilis 3 film horor, ada Kereta Berdarah, Jurnalisa, dan juga Pusaka. Ketiganya memiliki kesamaan: bukan hanya memperlakukan penceritaannya dengan tak benar, tapi juga esekusi untuk melahirkan intensitas tegang yang hampir nol besar.