Saya awalnya mengira film remake film berjudul sama dari Denmark yang rilis 2022 lalu ini tipikal horor yang mengandalkan jump scare, kejar-kejaran, atau visualisasi disturbing macam gore atau darah yang saya ekspetasikan muncul disepanjang film, rupanya film arahan James Watkins (Eden Lake) ini sepenuhnya mengandalkan narasi dan interaksi permainan teror psikologis.

Dan horor film ini ga akan tercipta jika bukan karna akting James McAvoy sebagai Paddy mampu meng-carry keseluruhan cerita. Akting dia disini bener-bener sinting, cara dia mengekspresikan kegilaan lewat seringai, tatapan mata dan badan bulky intimidatif lewat gestur agresif dan cara dia memanipulasi keadaan dan orang lain bener-bener bikin ga nyaman.

Tapi, film ini cukup butuh ekstra kesabaran, karena hampir separuh film ini terlalu bertele-tele gimana dua keluarga ini bertemu sampai pada akhirnya saling percaya untuk kembali hangout dan piknik bersama, bahkan menyelipkan konflik keluarga yang seakan tidak berguna. Tapi, untungnya film ini cukup sukses memberi teror tersembunyi lewat perilaku mencurigakan keluarga Paddy yang penuh kepura-puraan dan candaannya yang berlebihan, sembari film menyiapkan setup yang sudah diplanting dengan cerdas untuk adegan klimaks yang semakin menegangkan dengan beberapa aksi komedi tak terduga.

Saya cukup apresiasi keberanian Todd Phillips memilih tema musikal di sekuelnya yang membawa tema baru dan unik sementara film pertamanya saja bermasalah. Film ini sendiri mencoba mengupas sisi terdalam dari Arthur Fleck aka Joker (Joaquin Phoenix) yang kini mendekam di Arkham dan harus melewati persidangan atas 5 pembunuhan yang ia lakukan.

Sisi karakter yang banyak diprotes fans ini juga dijadikan premis utama untuk menjawab apakah tindakan Arthur selama murni karena gangguan mental atau ada hal lain yang disembunyikan sehubungan masa lalu tragis yang pernah dialaminya, ditambah kemunculan Harley Quinn (Lady Gaga) yang menambah kompleksitas kepribadian Joker yang seiring waktu menunjukkan identitas dia yang sebenarnya.

Saya sebetulnya suka drama musikalnya yang terasa lebih natural dan tidak berlebihan. Tapi, harus diakui suara Phoenix pas nyanyi ga enak didengar apalagi saat ia berduet dengan Lady Gaga yang notabene diva, dan list musiknya juga kerasa biasa aja. Film ini juga punya beberapa adegan yang terlalu dipaksakan dan beberapa scene trailer ternyata ga ada di film, ditambah ending yang menjawab keseluruhan cerita film ini yang kerasa seperti kena prank. Ada beberapa aspek yang saya bisa puji pada film ini seperti tata artistik visual yang masih solid lewat perpaduan lighting dan gelapnya tema, akting Phoenix yang masih terasa gila walau skill nyanyinya menyedihkan, sayang akting Lady Gaga yang saya ekspetasikan sama gilanya tapi ternyata biasa aja, dan sekuen courtroom yang buat saya pribadi ini yang paling intens dan istimewa sepanjang film.

Film ini buat saya unwatchable, saya sebetulnya ga berekpetasi apa-apa, cuman saya penasaran sama ratingnya yang lumayan. Setelah saya tonton ternyata filmnya predictable, boring dan penulisan ceritanya ga ada yang spesial. Saya ga tahu pasti tapi bisa jadi nonton film ini lebih terasa kalau nonton di bioskop jadi esensi horornya dapet sementara saya nonton di netflix, karena sepanjang film ini berfokus pada cara Awi Suryadi membangun setup horornya yang untungnya buat saya cukup kreatif dan lumayan saya apresiasi, jadi ga sekedar jump scare muka hantu yang terang-terangan yang terkesan murahan, tapi cara dia menampilkan sosok secara implisit mungkin istilahnya efek pareidolia yang memunculkan sosok pocong yang tersembunyi. Secara estetika ya filmnya lumayan dan akting pemerannya juga oke

Film karya debutan aktris Zoë Kravitz ini bukan premis yang baru mengenai sekelompok orang melakukan liburan di pulau pribadi milik miliarder lalu ditengah hingar bingar pesta yang menyenangkan berubah menjadi mencekam ketika satu-persatu misteri mulai terkuak. Tapi, film bertema thriller misteri ini memiliki pembeda dari isu sosial yang diangkat soal penyalahgunaan kekuasaan dan eksploitasi perempuan, dimana warning text di awal film semakin mempertegas apa point yang ingin disampaikan. Film ini dikemas dengan alur penuh teka-teki dengan polesan ritual pesta liburan yang penuh kesenangan duniawi, setup plotnya cukup sederhana tapi cukup menawarkan banyak kejutan yang tak terduga. Film ini juga menyuntikkan berbagai unsur dark comedy yang mampu menyeimbangi sekuens yang penuh hal depresif dan disturbing. Kelemahan film ini sebetulnya penulisan cerita yang kurang matang, banyak sekali plot hole yang membuat konklusi film bahkan garis besar cerita terasa janggal, misal alasan pemilihan pulau yang dipenuhi ular ini dipakai, keterlibatan orang lokal terutama nenek asing yang selalu teriak red rabbit, sampai konklusi akhir yang sengaja dilompat malah mengundang lebih banyak tanda tanya pasca tragedi pulau itu terjadi.

Film It Ends with Us ini romance yang mengangkat isu kdrt. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama, lalu digarap oleh sutradara Justin Baldoni yang kisahnya diawali dengan pertemuan tak sengaja Lily Bloom (Blake Lively) dengan Ryle (Justin Baldoni) yang digambarkan sebagai pria nyaris sempurna yang hampir memiliki segalanya tanpa kekurangan tapi tipikal playboy yang enggan menjalin hubungan serius. Film ini awalnya tampak manis dan seksi dengan arahan cerita romansa klise bak dongeng pangeran berkuda, tapi manisnya hubungan mereka tidak berlangsung lama, hingga sisi traumatis dan kerentanan yang terakumulasi lewat masa lalu kelam, ditambah sosok ketiga muncul dari masa lalu Lily menjadi api dalam sekam menjadi problematika utama film ini. Meski film ini tampak klise tapi saya suka perjalanan cinta Lily dari flashback masa lalu sampai masa sekarang, hingga di titik konflik terjadi dimulai saat ia mulai berumah tangga, tapi fase ini jadi kekurangan besar film dengan penceritaan soal efek copying mechanism Lily atas dampak pengalaman traumatis dan kerentanan akan delusi ketakutan akan kekerasan, tapi sisi ini kesan kdrt dibuat abu-abu, jadi membingungkan tentang penjelasan masalah dalam film ini apalagi Lily bukan satu-satunya korban dari masalah hidup, tapi film ini seolah dibuat sepihak, jadi saya semakin bingung ingin berada di posisi siapa dan hanya satu perspektif yang diangkat, ditambah konklusi film ini semakin mengurangi rasa simpati saya pada karakter utama atas keputusan-keputusannya entah dengan alasan demi kebaikan dan apakah harus seperti ini ending yang memuaskan?

Arcadian adalah film post apocalypse yang punya desain monster yang paling mengerikan sejauh ini, wujud hitam berbulu mirip genderuwo, mata merah, bermuka kuda, dan memiliki kuku panjang yang hidup di bawah tanah dan keluar ke permukaan ketika di malam hari. Film ini menceritakan sosok ayah Paul (Nicholas Cage) yang hidup bersama kedua anak lelakinya Joseph (Jaeden Martell) dan Thomas (Maxwell Jenkins), berjuang bertahan hidup melindungi dan membesarkan keduanya di sepetak rumah di tengah hutan. Filmnya sederhana, berusaha memuat kisah soal kuatnya ikatan keluarga dalam situasi penuh rintangan dan bahaya, tapi sayangnya film ini malah terkesan menyebalkan dan membuat frustasi dengan pertengkaran kakak adik yang egois yang akhirnya menyebabkan ayahnya yang penyayang menjadi korban kebodohan dua anaknya. Tapi, ga hanya sampai disitu, nanti ada shelter yang sering dikunjungi Thomas tempatnya bermesraan dengan anak gadis pemimpin shelter Charlotte (Sadie Soverall) yang ujung-ujungnya shelter biadab ini sama sekali tidak punya empati saat tidak mau menolong ayahnya. Pesan film ini begitu dangkal dan lemah, satu-satunya materi film ini yang layak tonton hanya bagian horor dan betapa mengerikannya sosok monster di film ini, dan mungkin sosok Nicage yang baik bagaikan hero ditengah karakterisasi dangkal setiap orang di film ini.