Robot Dreams karya Pablo Berger seolah menjadi personifikasi teori behaviorism yang terjadi pada manusia, dimana sebagai produk lingkungan, meniru adalah bagian penting dalam pertumbuhan. Kisah Robot & pemiliknya dalam film tanpa dialog ini dan fabel New York tahun 80-an membungkus suka-duka metamorfosa cinta dengan animasi sendu warna.

Dalam Visiting Hours, Patricia Mazuy menunjukkan stagnasi kehidupan perempuan ketika pasangan mereka dipenjara. Waktu kunjungan bahkan merefleksikan keterikatan yang sulit dilepaskan.

Tidak halnya dengan Alma, yang walaupun ia masih mengunjungi suaminya di penjara, ia putuskan hidupnya terus berjalan dengan keputusan-keputusan spontan dan kehancuran yang ia tertawakan. Alma bahkan tidak ragu mengajak Mina - ibu 2 anak yang ia temui di waktu kunjungan - untuk tinggal di rumah besarnya.

Dengan penampilan Isabelle Huppert yang aneh bin ajaib, Visiting Hours mengingatkan kita kalau ada “waktu kunjungan” untuk masa lalu yang menyakitkan, selanjutnya bodo amat & lanjutkan kehidupan.

“Sons” karya Gustav Möller berisi dilema moral yang sangat besar. Seorang perempuan yang menjadi sipir penjara, menjalani keseharian bersama para tahanan lelaki selagi berusaha meraih ketenangan dari beban masa lalu. Kehadiran seorang tahanan baru membuat emosinya meluap kembali dan wewenangnya menjadi bias.

Tensi yang dibawa film ini memberikan sensasi tegang yang merangkak perlahan, apalagi konflik antar dua karakter yang menebus dan menuntut bisa melakukan segala kemungkinan.

Merasakan sensori kota Paris melalui sepeda yang dikayuh oleh Souleymane untuk mengantarkan makanan yang dipesan lewat aplikasi. Dengan susah payah ia menyesuaikan hidup di kota besar yang selalu dikejar waktu: pesanan & kepuasan konsumen, jadwal kereta & bus, batas waktu pembayaran, hingga waktu persiapannya untuk wawancara di OFPRA.

Secara humanis & sentuhan dokumenter, “Souleymane's Story” karya Boris Lojkine tidak hanya bercerita tentang persoalan besar yang dialami para imigran di negara asalnya, tapi sebagai manusia juga memiliki cerita & permasalahan masing-masing yang membuat mereka harus memilih untuk hidup lebih baik.

The Balconettes karya Noémie Merlant memberikan sensasi heatwave dengan gambar super terangnya, membuat emosi para karakter membara dan tenggelam dalam halusinasi. Darah bercucuran di rumah dan media, sekaligus membongkar peristiwa. Bagi Ruby, Élise & Nicole, momen ini adalah perlawanan terhadap segala manipulasi mulut manis laki-laki.

Dengan gaya horor komedi yang preachy, The Balconettes menyeru dengan lantang untuk lepas dari apa yang mengekang.

Kengerian pada folk horror “The Damned” karya Thordur Palsson tidak hanya bertumpu pada penampakan sosok seram. Tapi pada lanskap terpencil antara lembah, gunung, dan laut dimana para karakter ini tinggal.

Mereka harus bertahan hidup di tengah salju & angin yang mempersulit mata pencaharian. Apalagi keputusan moral mereka diuji ketika orang-orang asing menuntut pertolongan di lautan. Keputusan yang berujung pada paranoia & teror yang menggerogoti mereka perlahan-lahan.