Satu hal pilihan yang pasti adalah Park Chan-wook dengan thriller sebagai genre project filmnya. Even kalo beliau berkolaborasi dengan Dee Company-pun gue bakal tetap beli tiketnya.

Sutradara yang super konsisten ini seperti selalu berhasil menghapal rumus meramu film, tak terkecuali di No Other Choice. Lewat tangan dinginnya, sebuah kegilaan dalam menyambung karir sukses dicumbukan dengan black comedy yang sangat lucu. Tak ketinggalan pula visual yang bersinema dengan style editing yang dia bawa kembali dari Decision to Leave.

No Other Choice yang sekilas mengingatkan gue sama Breaking Bad ini seakan menjadi potret sifat manusia yang enggan meninggalkan zona nyaman karena ketakutan akan hal baru yang tidak pasti. Dengan demikian, tak ada pilihan selain membenarkan semua tindakan untuk mempertahankan status.

Revolusi hadir dengan berbagai bentuk dan PTA memilih One Battle After Another dengan gejolak radikal sebagai imannya. Kita diperlihatkan bara api perjuangan yang tak berkesudahan, dari mulai perlawanan terhadap otoritarianisme sampai pertempuran ayah-anak melindungi satu dengan yang lain.

Apa yang membuat PTA menjadi sutradara yang selalu gue segani adalah filmnya tidak kehabisan daya magis, perpaduan aksi penuh kekerasan, drama dengan dialog yang solid, serta komedi-komedi satir silih berganti mengambil tongkat estafet. Lengkap juga dengan performa puncak para aktornya (Sean Penn gila!).

Terakhir, One Battle After Another pun tak ketinggalan menyuarakan pesan yang penuh emosional, bahwa kemenangan dari sebuah perjuangan adalah tetap menjaga apinya tetap membara, Viva la Revolución!

Sentimental Value membuka dengan penggambaran baru dalam sebuah drama keluarga, yakni bukan hanya menelusuri luka antar keluarga namun juga menjadikan rumah sebagai memory dan panggung untuk sudut pandang lain. Membuat kita juga penasaran, keheningan atau kebisingan yang ia sukai.

Sejak awal Joachim Trier membangun ritme keintiman dan kegelisahan antar individu secara pelan, pula juga ia sabar mengatur suasana dan ingatan. Dengan begitu sukar sekali untuk tidak menempatkan hati dan atensi pada individunya. Hal tersebut juga berhasil dipadukan dengan performa para cast-nya, mulai dari Renate Reinsve sampai Inga Ibsdotter Lilleaas. Trier juga menyiratkan bahwa “nilai sentimental” bukanlah ukuran dari benda atau pencapaian, melainkan dari cara kita tetap hidup dalam diri satu sama lain. Terakhir, kita juga dibuat paham bahwa keluarga bukan jaminan kenyamanan, melainkan ruang di mana luka lama dan kasih sayang abadi berdampingan, membentuk siapa diri kita.

Oddity ngebuka filmnya dengan adegan memukau yang berhasil ngasih tau kita ini film bukan hanya menakutkan tapi juga punya cerita yang dibangun dengan rapi. Film garapan Damian Mc Carthy' ini juga berhasil nge-hook penonton dengan kengerian atmosfer balas dendam supranaturalnya. Dan walaupun jumpscare yang dihadirkan sedikit tapi efektif ngangetin di beberapa momen.

Sebelum nonton udah gak berekspektasi apa-apa tapi gataunya emang janji ledakan tawa itu bener-bener nyata kejadian. Komedi yang dibawain hampir ga pernah miss dan kerasa cringe, semua cast berhasil dibagi rata ngebawain tiap komedinya. Tapi ada beberapa inside jokes soal para komika dan personil Agak Laen yang kalo kita gak ngikutin bakal gak ngeh sih. Soal akting juga Oki Rengga harus dikasih kesempatan lagi, doi nunjukin kalo punya bakat di bidang itu. Set pasar malemnya yang emang ngabisin budget film jadi nilai plus, terlebih hampir 80% filmnya juga lokasinya disitu. Mungkin kurangnya ada di plot Praz Teguh, kemana ni orang kok ngilang?

Overall, gue salah satu yang akan menunggu-nunggu kalo Agak Laen bakal dibikin film keduanya.