Di bawah payung Disney, Deadpool - yang kini duo dengan Wolverine, menjadikan film ini buddy adventure dengan formula yang perfect - terasa lebih 'jinak'.
Konsep sindiran meta dan breaking-the-fourth-wall uniknya kini jadi alat untuk ngasih sambutan buat karakter-karakter yang akhirnya masuk MCU. Sementara, konsep multiverse sendiri masih dipertahankan, dan masih jadi pedang bermata dua; Walau memang ngasih hiburan-nostalgia, tetapi implikasi ada infinite versions of everything membuat cerita tak pernah lagi terasa benar-benar greget. Apalagi saat filmnya memang lebih bersandar kepada kemunculan karakter saja.

Inilah yang terjadi ketika hysterical method acting-nya Nic Cage collab ama design suara, kamera, dan editing setan. Horor-crime yang luar biasa 'kurang ajar'.
Tapi pilihan film untuk ngasih eksposisi jawaban - yang dibikin full supranatural - bakal bikin penonton terbagi dua.

Lafran adalah tipe biopik yang karena menceritakan kehidupan tokohnya dari kecil, cerita jadi terlalu lama sampai ke bagian yang paling penting dan menarik dari permasalahan hidupnya. Bagian Lafran membuat organisasi Islam sendiri kehilangan momentum oleh sebab awal cerita yang tidak langsung fokus.

To make it worse (and kinda sad, mengingat pesan utamanya sebenarnya penting dan relevan), film ini dibuka dengan cara paling lawak yang aku lihat belakangan ini; openingnya kayak highlight adegan-adegan ala teaser opening pada video-video YouTube!

Film ini, sayangnya, tampil maksimal hanya pas adegan-adegan sedih. Dibikin dramatis, seemosional mungkin, kalo perlu hujan pun diturunkan. Sementara pada momen-momen lain, lempeng. Note film jadi gak imbang, karakternya pun kehilangan kesempatan untuk lebih terflesh out.

Bahan-bahan racikan film ini sebenarnya bagus. Memadukan misteri, mitos gunung dll, horor hantu-hantuan, dan komedi persahabatan dengan pamungkas emotional note yang tinggi. Cuma memang penceritaannya masih agak kikuk.
Yang masih bisa dimaklumi terjadi ketika sebuah film mengusung banyak konsep; seperti di sini ada setting podcast juga, ada desain ke membuat penonton menebak-nebak, ada demit ‘beneran’ dan demit ‘masa lalu’. Dan ada empat orang – setidaknya – yang harus digali (bukan hanya pada akhir tapi juga basically sepanjang durasi), sementara ada satu protagonis utama yang juga harus dicuatkan.

Film ini kebetulan mengambil jalur ‘aman’ yang repetitif, resulting ke tempo yang lebih draggy, alih-alih potong kompas alias lebih ‘garang’ di arahan.

Sekuel yang banyak bermain dengan aspek pada film pertama - seolah mau mengoreksinya? Hmm.. yang jelas, I do think karakter dalam film ini terasa lebih mudah untuk relate ke penonton. Film fokus kepada flaw mereka. Dan ini penting, karena tanpa ketakutan alias trauma dari survivor guilt-nya, Kate (yang kayak gabungan karakter Jo dan Bill pada film original) hanya akan jadi karakter utama yang terlalu sempurna. Tapi film berhasil membuat setiap pertemuan dia dengan tornado itu punya arti, punya makna kepada pembelajarannya sebagai manusia. Sambil juga film ini tetap menjalankan fungsinya sebagai disaster-flick yang seru, intens, kadang lucu-kadang konyol.