Setelah menghabiskan tenaganya untuk melayani umat dan orang saleh yang dia hormati sejak kecil, serangkaian kehilangan dan pengkhianatan mendorong Kiran ke ambang batasnya. Kecewa, ia merebut kembali tubuh dan pikirannya dari agama dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Semuanya tampak baik-baik saja buat Kiran, anehnya pemberontakannya tak terasa cukup memuaskan. Kiran memutuskan untuk meningkatkan pembangkangannya, menjerumuskannya makin dalam pada bahaya, yang entah akan memubuatnya jadi bijaksana, atau mendorongnya ke jurang tanpa dasar.
Titik terbaik film ini terjadi saat narasinya mencapai titik balik, yang menandai peralihan fokus narasi dari latar masa lalu ke masa kini, melalui adegan menggelegar berlatar puncak gunung tatkala Kiran meneriakkan tantangannya kepada Tuhan. Di situlah saya berujar, "Hanung yang lama sudah kembali".