Pak Wiryo (Yose Rizal) dan istri pertamanya (Retno Yunitawati) mengalami kecelakaan maut. Istrinya tewas di tempat, sedangkan Pak Wiryo jatuh koma dan sulit meregang nyawa. Tetangga bergosip Pak Wiryo bisa selamat karena ‘ngilmu’ dan punya ‘pegangan’. Saat Pak Wiryo menghadapi sakaratul maut, anak-anaknya dari istri pertama (Indah Permatasari dan Della Erawati Dartiyan) dan istri kedua (Maryam Supraba) malah sibuk berebut harta warisan. Bersamaan dengan konflik itu, rentetan teror menyerang anak-anak Pak Wiryo. Satu per satu dari mereka diteror Jin mengerikan. Apakah itu jin pegangan yang bersemayam di tubuh Bapak?
Dibanding dengan "Waktu Maghrib", Sidharta Tata harus diakui semakin membaik dalam memproses sebuah adegan horor (btw, gue belom nonton Malam Pencabut Nyawa). Tidak lagi mau bergantung musik skoring yang dang deng dong berisik, tapi sebaliknya memanfaatkan atmosfer sebagai penyokong adegan seramnya supaya terlihat lebih efektif dan menarik. Treatment horornya untuk membingkai jumpscare serta penampakan pun bisa dibilang tak monoton, dari memanfaatkan kesunyian hingga gerak kamera lamban, dari mengandalkan apiknya akting para pemeran sampai suara-suara di sekitar yang ampuh bikin scene penampakan makin terasa mencekam.
Meski "Sakaratul Maut" enggak nangkring di daftar 10 besar sinema horor lokal terbaik, tapi usaha film yang skenarionya dikeroyok oleh trio yang menulis serial horor "Teluh Darah" ini harus tetap diapresiasi, karena sudah (mau dan niat) memberikan tontonon horor yang lumayan menyenangkan, tak melelahkan, dan yang paling penting tidak bikin gue ngantuk seperti kebanyakan horor lokal yang sudah lebih dulu tayang, termasuk "Jurnal Risa" dan juga "Pusaka" kemarin. Sidharta Tata mau belajar dari kesalahannya, dan niat itu terlihat di beberapa adegan horornya di "Sakaratul Maut", terutama di momen favorit gue: adegan pabrik genteng yang menghadirkan penampakan entitas gaib dengan aksi headbanging ultra ektrim hahaha.