Setelah menghabiskan tenaganya untuk melayani umat dan orang saleh yang dia hormati sejak kecil, serangkaian kehilangan dan pengkhianatan mendorong Kiran ke ambang batasnya. Kecewa, ia merebut kembali tubuh dan pikirannya dari agama dan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Semuanya tampak baik-baik saja buat Kiran, anehnya pemberontakannya tak terasa cukup memuaskan. Kiran memutuskan untuk meningkatkan pembangkangannya, menjerumuskannya makin dalam pada bahaya, yang entah akan memubuatnya jadi bijaksana, atau mendorongnya ke jurang tanpa dasar.
Hanung took this story and make it his own, successfully and masterfully.
Penceritaan di buku mengambil sisi dramatis dari transformasi, atau katakanlah degradasi, Kiran. Saat menonton film ini, aku bingung karena Hanung tidak tampak mengincar hal serupa. Ternyata Hanung sudah membentuk ulang cerita ini sehingga dramatisasinya bukan lagi dari transformasi. Bukan hanya judul, penceritaan, karakter, alur, dan vibe, film berjalan di jalurnya sendiri. Konfliknya dibawa ke luar. Bentukannya dari khas auteur lelaki mengapproach cerita ini, yaitu Kiran menjadi victim di dunia yang dikuasai laki-laki. Kiran mengalami banyak siksa dunia sebelum akhirnya dia sadar. Ah, betapa Kiran dan Sita dari Siksa Kubur sepertinya bisa menjadi sobat karib.