Bhagole dan Prabhata, petani tak berlahan, mencari pekerjaan di kota tapi gagal. Mereka kembali ke desa yang sedang kacau balau akibat kematian petani lokal yang disebabkan oleh harimau. Perselisihan mengenai kompensasi memanas, dipicu dugaan bunuh diri. Ditolak oleh pabrik batu bata yang terlilit utang, pasangan lansia ini bergantung hidup pada putra mereka, Saharsh, yang harus memproduksi 1.000 batu bata setiap hari untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Di tengah kesulitan, momen indah sesekali menjadi pelipur lara, termasuk sandiwara desa yang menggambarkan kedatangan Dewa Wisnu, melambangkan sebuah harapan. Karena putus asa, Bhagole mengorbankan dirinya demi menyelamatkan masa depan keluarganya. Prabhata pun menyusul Bhagole, dan hutan yang menyimpan 40 tahun kenangan bersama berubah menjadi panggung surreal untuk malam terakhir yang mengharukan.
Ditonton di JAFF 19
Gw suka gimana filmnya membawa narasi dan komentar mengenai kelas kasta, human slavery, romance, sampai kritik agama di India. Dari judulnya "dalam perut harimau" yang memang dalam filmnya sempat ter-mention mengenai hewan tersebut dan kritik terhadap perlindungan harimau lebih besar dibanding pada hak asasi manusia, tetapi ada kesan juga untuk demonisasi harimau sebagai metofara ketamakan manusia. Ketika di awal yang udah gw tulis soal perlindungan hewan, mengapa lagi-lagi harimau hanya sebatas simbol ketamakan manusia, padahal hewan ini memang perlu dilindungi dan justru manusia lebih tamak, kesan yang timbul lagi-lagi harimau sebagai musuh secara mataforik juga literal hewan buas yang ketika dibunuh dapat memenjarakan satu desa.
Selebihnya gw suka dari production value, editing, dan focus shifting ceritanya. Penonton dibawa terlebih dahulu soal kegetiran di sebuah desa di India (yang kesannya mirip-mirip sama film Sang Penari) baru kemudian dibawa pada cerita romansa mendalam yang penuh bunga