Setelah menyaksikan kematian orang tuanya, May pingsan setiap kali ia menginjakkan kaki di daratan. Kakeknya, Tuha, membawanya tinggal di sebuah rumah di tengah danau. Dicap terkutuk oleh desanya, May bertekad untuk merebut kembali hidupnya dengan menapak di atas tanah.
Ditonton di JAFF 19
Slow burn yang magis, membawa unsur mimpi sebagai upayanya menerjemahkan perasaan perempuan sebagaimana upaya Kamila Andini dalam Before, Now, and Then (Nana). Tale of The Land hadir sebagai debut film panjang yang kuat dan medium kritik yang tersampaikan secara perlahan menggugah pemikiran audiensnya. Mungkin hal yang mengganjal bagi saya (walau bukan orang kalimantan, setidaknya saya pernah mendengar saudara saya dari kalimantan berdialog) percakapan dalam film ini terasa terlalu kaku, dialeg yang dituturkan masih terkesan Jakarta, belum lagi memang tak seutuhnya menggunakan bahasa daerah. Dari sesi qna juga dijelaskan alasannya agar ada usaha familiaritas pada penonton agar tidak bergantung pada subtitile, tetapi tetap saja rasanya terlalu mengganggu dan nanggung untuk tidak mengangkat seutuhnya budaya kalimantan, terlebih rasanya kalimantan menjadi eksotis untuk difilmkan setelah mendapat sorotan lebih pasca politik belakangan ini.
Ada satu hal lagi pada puisi yang dibacakan pasa sesi qna cukup membantu saya lebih mendalam memahami film ini.