Sartika (Claresta Taufan), seorang perempuan muda yang sedang hamil, pindah dari kota asalnya dengan harapan bisa memberikan masa depan yang lebih baik bagi anaknya. Ia bertemu dengan Maya (Christine Hakim), pemilik kedai kopi di Pantura. Maya merawat Sartika dan membantu persalinannya. Setelah Sartika melahirkan, Maya merayunya bekerja menyuguhkan kopi sambil dipangku, hingga suatu hari Sartika bertemu dan jatuh cinta dengan sopir truk distributor ikan bernama Hadi (Fedi Nuril). Akankah Sartika menemukan kebahagiaannya?
Pangku ini rasaya seperti ketika siswa SD ditugaskan untuk membuat puisi atau cepen bahasa Indonesia, pasti kebanyakan ditujukan pada sosok Ibu. Inilah surat cinta yang personal. Seperti puisi dari seorang anak, ia jujur, polos, perjalanan keseharian yang dipotret dekat, romans, tanpa menampilkan kesedihan atau melanggengkan poverty porn dan wacana wong kalahan bagi masyarakat miskin terpinggirkan. Namun, masih terkurung pada wacana falusentris dan mitos maternal ibu sebagai mother-nurture yang penuh pengorbanan, derita, dan pelindung keluarga sebagai bentuk kasih sayang.
Ada representasi yang menarik pandangan saya ketika Sartika menggendong Bayu; imaji mereka terlihat seperti ikonografi Madonna and Child pada bentuk pengorbanan ibu memikul beban dunia juga bagaimana kegiatan mereka serupa dengan lukisan realisme sosial Hendra Gunawan, Pulang Mancing (1960) yang memperlihatkan orang tua menggendong anaknya dan membawa hasil tangkapan ikan. Gendong, Ibu, dan Mancing ini ketiganya penting dalam gagasan Pangku; ketiganya menjadi beban Sartika dalam memenuhi hak dasar dan kewajiban dia sebagai ibu juga bentuk lain dari Macak, Masak, Manak yang ditujukan bagi perempuan (Jawa) tradisonal.
Timbul pertanyaan saya selama menonton Pangku, mengapa harus 98 ketika tekstur dan kondisi sosio politiknya sama persis dengan hari ini, terlebih masih ada representasi yang terlihat lebih modern. Konteks 98 ini penting, tetapi dapat juga berpotensi menjebak pemirsanya. Apakah ke-98an ini diwujudkan kembali sebagai upaya Reza & Felix ingin menarik kembali ingatan kelam masa lalu sebagai peringatan, upaya bermain aman dari politik hari ini, atau ketidakmampuan menangkap kekinian? Namun, wacana utamanya adalah kemiskinan struktural yang mengurung masyarakat untuk terus berputar di kondisi ekonomi yang demikian setelah bertahun-tahun.