Keluarga Sukaharta terdiri dari Tony (Dwi Sasono), Linda (Widi Mulia) dan ketiga anak mereka: Sally (Widuri Putri Sasono), Billy (Dru Prawiro Sasono), dan Kenny (Den Bagus Satrio Sasono), menjalani hidup dengan prinsip hemat yang nyaris tak masuk akal. Dari numpang isi daya di kantor kecamatan, makan gratis di resepsi orang tak di kenal, menumpang wifi tetangga, hingga menjatah air cebok, yang di lakukan atas nama efisiensi. Hidup mereka sederhana tapi bahagia. Namun saat Tony mengalami pemotongan gaji besar-besaran, mereka terpaksa meninggalkan rumah kontrakan penuh kenangan dan pindah ke bedeng bekas kandang burung di atas sebuah ruko. Dalam tekanan ekonomi dan ruang sempit, keluarga ini mengandalkan jurus warisan turun -temurun: TRIK (Taktik Irit Keluarga), untuk bertahan dan mengumpulkan cukup uang demi bisa kembali ke rumah lama mereka. Tapi mode hidup yang lebih irit dari sebelumnya, saudara yang mendadak ingin menumpang, serta rumah lama yang terancam direbut orang lain, justru mengancam keharmonisan keluarga Sukaharta. Di Tengah segala kesulitan, mereka harus berjuang menemukan kembali makna kebersamaan yang selama ini menjadi kekuatan sejati keluarga Sukaharta.
Something sinister to watch this film (and the fact that this released on Netflix) ketika se Twitter lagi panas gara-gara jatah bulanan seorang 52JT/bulan.
Entah mengapa film ini meromantisasi lagu God Bless — Rumah Kita Sendiri sejalan dengan wacana nrimo ing pandum, menekankan bentuk syukur sebagai roman perjuangan kelas bawah. Ia berceramah pada bentuk pengiritan dan memaksa mereka yang di bawah untuk resiliensi pada sistem; hemat. Upaya pengiritan dan segala bentuk pengakalan yang dilakukan dipotret sebagai hal yang impresif. Hal ini membentuk persepsi yang seharusnya dilakukan masyarakat mengatasi lesunya ekonomi. Ini melanggengkan konsepsi jahat frugal yang menyalahkan perilaku konsumtif masyarakat dan abai pada perputaran ekonomi yang buruk.
Hubungan Tony dengan bosnya misal, Ia memilih potong gaji dan beresiliensi sampai akhirnya benar-benar harus dipaksa meninggalkan pekerjaannya. Tony justru menciptakan sistem baru di kantornya untuk berhemat yang justru mengurung pekerja dalam ekonomi yang lebih buruk dan menguntungkan atasan.
Not to mention, ada upaya buruk mengenai wacana tidak kuliah tidak apa-apa dan menjadikan "kerja sesuai passion" sebagai hal buruk bagi kelas bawah.
Eksistensi Opa Hans di sini sebagai pertanda bahwa keadaan seperti ini merupakan sistemik. Irit yang diturunkan menandakan bahwa adanya invisible barier dan gap ekonomi sistemik yang menyulitkan mobilitas sosial vertikal ke atas. Poster-poster propaganda hemat dan adanya tokoh (mantan mentri) Ekonom Sri Mulyani menjadi figur surveilance pengatur bagaimana masyarakat bertindak pada sektor ekonomi terkecil.
Pada akhirnya, sayangnya wacana wong kalahan, lagi-lagi menjadi hal yang diromantisasi untuk diterima masyarakat menjadi neriman, resiliens, dan ikhlas pada keadaan selama adanya bentuk kebersamaan dan kehangatan yang semu.
Idk, the whole logic super irit doesn't really make sense for everything they do, math isn't mathing.