Jakarta, 2001. Hidup Cinta (Leya Princy) kelihatan nyaris sempurna. Dia punya sahabat yang solid di SMA, keluarga yang penyayang, dan status sebagai cewek paling populer di sekolah. Segala hal terasa aman dan seru—sampai suatu hari, Cinta kalah lomba puisi dari cowok super misterius bernama Rangga (El Putra Sarira). Rangga beda dari siapa pun yang pernah Cinta temui. Dia tidak suka keramaian, lebih suka membaca buku di pojokan, dan kata-katanya bisa membuat hati orang yang dengar bergetar. Awalnya Cinta kesal, tapi lama-lama penasaran… Masalahnya, dunia Rangga jauh berbeda dari dunia Cinta. Satu penuh tawa dan drama sahabat, satu lagi sepi tapi dalam. Dan di masa remaja yang serba cepat, kadang perasaan datang sebelum kita siap buat mengerti. Akibat sebuah kejadian pada sahabatnya, Cinta harus memilih antara sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya atau cinta pertamanya.
Ada Apa Dengan Cinta (Roedi Soedjarwo, 2002) dirilis 4 tahun pasca turunnya Soeharto dan terjadinya reformasi; Mira dan Riri sebelumnya juga sempat bergerilya pada 1997 melalui film antologi Kuldesak (1998) tentang remaja ibu kota dengan nuansa yang sangat politis.
AADC sendiri tidak bisa dipisahkan dengan muatan politisnya, ketika ia juga mendobrak representasi figur bapak. Bapak dengan keluarga utuh, patriarkis, justru memukuli istri dan anaknya; sedangkan bapak tunggal berhaluan kiri justru hadir mengayomi penuh sayang.
Representasi Cinta dan Alya juga meruntuhkan bagaimana perempuan dalam film yang selama ini pasif, justru ditempatkan dalam sisi yang aktif; Alya beserta ibunya yang keluar dari hubungan toksik patriarkis juga Cinta yang justru pertama menyatakan cinta.
23 tahun pasca AADC, mengapa Rangga & Cinta dilahirkan kembali? Kehadirannya di tengah gejolak belakangan ini justru terlihat seperti cautionary tale.